Tuesday, November 19, 2019

LAPORAN MIKROBIOLOGI : ISOLASI, ENUMERASI, DAN PENGUKURAN AKTIVITAS BAKTERI SELULOLITIK DARI TANAH KEBUN FAKULTAS BIOLOGI

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Tanah merupakan lingkungan yang kompleks yang menawarkan berbagai habitat mikro. Sehingga keragaman mikroba ditanah jauh lebih besar. Pada umumnya tanah mengandung dua bahan utama yakni mineral dan bahan organik, walaupun penyusun utama tanah terdiri dari mineral namun keberadaan bahan organik didalam tanah merupakan suatu hal yang sangat penting. Salah satu bahan organik penyusun tanah adalah selulosa (Willey et al., 2008).
Selulosa ini berasal dari sisa tumbuhan yang masuk ke dalam tanah dan merupakan komponen utama dinding sel tumbuhan.  Hidrolisis selulosa secara enzimatik dilakukan oleh selulase. Selulase dapat dihasilkan oleh bakteri dan jamur. Proses penguraian selulosa terjadi secara enzimatik ekstraseluler yang dilakukan oleh beberapa mikroba selulolitik menggunakan enzim selulase. Kabanyakan mikroba atau bakteri selulolitik hidup pada lapisan atas dari tanah pada kedalaman 0 – 30 cm dan bersifat aerob (Jensen, 2001).
Bakteri selulolitik merupakan bakteri yang memiliki kemampuan menghidrolisis kompleks selulosa menjadi oligosakarida yang lebih kecil dan akhirnya menjadi glukosa dengan menggunakan enzim selulase (Ibrahim, 2007). Selulase yang dihasilkan bakteri selulolitik merupakan enzim yang dapat memutuskan ikatan glukosida β-1,4 di dalam selulosa. Dalam menghidrolisis senyawa selulosa, kemampuan selulase sangat digantungkan pada substrat yang di gunakan. Ikatan β-1,4 glukosida pada serat selulosa dapat dipecah menjadi monomer glukosa (Fengel & Wegener, 1995).
Untuk memperlajari aktifitas suatu mikroorganisme utamanya dalam mendegradasi selulosa perlu dilakukan pengamatan dan analisis, dalam mendukung hal ini yang utama dilakukan adalah isolasi. Namun di alam bebas, mikrobia hidup saling bercampur sehingga didalam tanah bukan hanya bakteri selulolitik saja tapi terdapat banyak mikroorganisme lainnya. Hal ini akan menyulitkan sehingga perlu dilakukan isolasi. Teknik isolasi akan menghasilkan isolat atau kultur murni (Black, 2008). Kultur murni hanya mengandung satu spesies bakteri saja. Setelah isolat diperoleh untuk mengukur aktifitas enzim selulase digunakan metode pengamatan konsentrasi gula reduksi dengan menggunakan DNS.

1.2 Tujuan
            Tujuan praktikum ini adalah
1.      Mengisolasi mikrobia tanah asal kebun fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada yang bersifat seluloitik dengan kemampuan mendegradasi selulosa menjadi glukosa.
2.      Menentukan jumlah bakteri yang tumbuh per berat basah dan berat kering tanah melalui enumerasi.
3.      Melakukan pengamatan kurva pertumbuhan bakteri  selulolitik yang diperoleh.
4.      Membuat kurva standar  larutan glukosa.
5.      Melakukan pengamatan aktifitas  hidrolisis selulosa  dengan metode penentuan gula reduksi.


BAB II
METODE

2.1    Alat dan Bahan
A.    Alat
Alat yang digunakan pada percobaan ini adalah botol kaca tubular kecil, cawan petri, erlenmeyer, tabung reaksi, kuvet, gelas kimia,  spketrofotometer spektronic 20D, colony counter, oven, tip pipet, mikropipet, pipet ukur, pemanas listrik/kompor, vortex, timbangan, ose, lampu spritus, korek api, pendingin/kulkas, kapas, aluminium foil, karet, kertas dan rak tabung reaksi.
B.     Bahan
Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah sampel berupa tanah basah yang diambil dari kebun Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada. Media yang digunakan Nutrient Agar (NA), Nutrient Broth (NB), Carboxil Methil Cellulosa (CMC) Agar, Carboxil Methil Cellulosa (CMC) broth. Bahan lainnya reagen DNS, larutan glukosa standar 1 mg/ml, aquadest, dan alkohol.

2.2    Cara Kerja
Cara kerja pada percobaan ini dibagi ke dalam tiga bagian besar yaitu isolasi mikroba tanah, enumerasi, kurva pertumbuhan, kurva standard dan pengukuran aktifitas hidrolisis selulosa dengan metode penentuan konsentrasi gula reduksi.
2.2.1    Isolasi mikroba tanah
A.    Pengenceran
Sampel diambil dari tanah kebun fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada. Selanjutnya dilakukan isolasi. Tahap awal isolasi dilakukan dengan pengenceran menggunakan pengenceran bertingkat 10-2, 10-3, 10-4, 10-5 dan 10-6. Pengenceran bertingkat dilakukan dengan mengambil sampel tanah yang ditimbang sebanyak 5g  lalu dicampurkan ke dalam 95 ml akuades steril pada erlenmeyer untuk memperoleh pengenceran 10-2.  Kemudian diambil sebanyak 1 ml dari pengenceran 10-2 dan dipindahkan ke tabung reaksi pertama yang berisi 9 ml akuadest steril sehingga diperleh pengenceran 10-3, demikian seterusnya hingga pengenceran 10-6
B.     Isolasi dengan teknik pour plate
Sebanyak 1 ml hasil pengenceran 10-2  diambil dengan menggunakan mikropipet dan dimasukkan ke dalam cawan petri kemudian ditambahkan medium CMC Agar yang masih cair. Cawan petri ditutup lalu dilakukan homogenasi sampel pada medium dengan cara cawan petri dipegang lalu digerakkan membentuk angka delapan. Setelah dianggap homogen, cawan petri yang telah berisi medium dan inokulum diberi label lalu dibungkus dengan kertas sampul dan diinkubasi selama satu minggu pada suhu ruang. Demikian seterusnya dilakukan hingga pengenceran 10-6. Koloni yang tumbuh kemudian diberi kode untuk selanjutnya diamati morfologi koloninya meliputi bentuk koloni yang tumbuh, warna koloni, bentuk permukaan koloni, bentuk tepi koloni dan juga dilakukan enumerasi untuk mengetahui jumlah sel bakteri.
C.    Purifikasi isolat pada medium Nutrient Agar
Koloni yang tumbuh dari hasil isolasi dengan teknik pour plate dipilih untuk selanjutnya diambil sebanyak 1 ose untuk dimurnikan menggunakan metode streak plate pada media Nutrient Agar. Pada teknik ini penggoresan dilakukan dengan membagi menjadi empat kuadran. Penggoresan dilakukan terlebih dahulu pada kuadran pertama. Untuk penggoresan pada kuadran kedua hingga keempat, diambil sedikit hasil goresan pada kuadran sebelumnya lalu digoreskan pada kuadran berikutnya. Koloni yang telah murni ditandai oleh koloni terpisah kemudian dipindahkan kedalam media biakan miring dan diinkubasikan pada suhu ruang sebagai stok bakteri. 
D.    Pembuatan prekultur
Stok bakteri pada agar miring diambil sebanyak satu ose kemudian ditumbuhkan pada media nutrient broth sebagai prekultur dengan waktu inkubasi 72 jam.


2.2.2  Enumerasi
A.    Pengukuran Berat Kering Tanah
Sampel tanah yang diperoleh ditimbang sebagai berat basah sebanyak 2 gr kemudian dimasukkan ke dalam botol kaca tubular kecil yang sebelumnya telah ditimbang baik berat botol kaca dan penutupnya. Untuk pengukuran berat kering, botol kaca tubular yang berisi sampel tanah dimasukkan ke dalam oven dalam keadaan terbuka dengan tujuan menguapkan air yang terdapat didalam tanah. Selanjutnya dilakukan pengukuran setiap 24 jam hingga diperoleh data pengukuran yang stabil. Data yang didapat kemudian dikurangi berat botol kaca dan penutupnya untuk mendapatkan data berat kering tanah.
B.     Enumerasi
Enumerasi dilakukan melalui penghitungan jumlah bakteri secara tidak langsung (indirect method). Penghitungan jumlah koloni bakteri dilakukan dengan menghitung jumlah koloni yang tumbuh pada tiap seri pengenceran yang telah diisolasi menggunakan teknik pour plate dengan bantuan colony counter. Hasil penghitungan jumlah koloni kemudian dikonversikan melalui metode Total Plate Count (TPC) untuk memperoleh hasil estimasi jumlah sel bakteri yang ada yang selanjutnya digunakan pada perhitungan jumlah sel per berat kering tanah.
2.2.3        Pembuatan Kurva Pertumbuhan
Prekultur yang telah dibuat sebelumnya kemudian sebanyak 0,5 ml diinokulasi ke dalam 100 ml media NB steril. Selanjutya dilakukan pengukuran Optical Density (OD) dari masing-masing kulktur bakteri pada waktu inkubasi 0 jam, 1 jam, 6 jam, 24 jam, 30 jam, 48 jam, 54 jam, 72 jam dan 78 jam mengunakan alat spektofotometer dengan panjang gelombang 600 nm. Inkubasi dilakukan pada suhu ruang. Nilai OD yang diperoleh kemudian digunakan untuk membuat plot kurva pemtumbuhan berdasarkan grafik hubungan antara waktu inkubasi dengan nilai OD sehingga dapat ditentukan kisaran rentang waktu fase lag, eksponensial, stationer, maupun fase kematian.


2.2.4        Pembuatan kurva larutan standar
Seri mengenceran dari larutan standar glukosa dibuat hingga diperoleh seri konsentrasi larutan sebagai berikut:
Konsentrasi yang diinginkan (mg/ml)
Penambahan Larutan Standar Glukosa (ml)
Volume Aquades yang ditambahkan (ml)
Total Volume (ml)
0
0
1,0
1
0,2
0,2
0,8
1
0,4
0,4
0,6
1
0.6
0,6
0,4
1
0,8
0,8
0,2
1
1.0
1.0
0
1
masing-masing 1 ml larutan standar diambil dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian tambahkan 1 ml akuades dan 3 ml reagen DNS. Larutan kemudian digojog sampai homogen dan dipanaskan pada 80-100­0 C selama 15-20 Menit. Selanjutnya masing-masing larutan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 575 nm. Data hasil pengukuran yang diperoleh lalu dibuat kurva dengan sumbu X = konsentrasi glukosa dan sumbu Y = absorbansi untuk menentukan persaman garis (Y= ax+b) dan nilai koefisien korelasinya (r).
2.2.5        Pengukuran Aktivitas Hidrolisis Selulosa dengan Metode Penentuan Gula Reduksi
Prekultur sebanyak 0,5 ml yang berisi kultur cair bakteri berumur 72 jam di inokulasikan ke dalam media NB yang diperkaya dengan selulosa mikrokristalin dengan konsentrasi selulosa 1 g/ml. Inokulasi dilakukan pada suhu ruang. Kemudian kultur bakteri sebanyak 2 ml diambil secara aseptis pada waktu inkubasi 0 jam, 6 jam, 24 jam, 48 jam, 72 jam dan disimpan pada suhu ­0­0 C sebagai cuplikan untuk dianalisis kandungan gula reduksinya dengan metode DNS. Masing-masing cuplikan bakteri yang disimpan pada waktu inkubasi yang berbeda kemudian  sebanyak 1 ml dimasukkan kedalam tabung reaksi yang berisi 3 ml DNS dan 1 ml aquadest, lalu dihomogenkan dengan menggunakan vortex. Selanjutnya dipanaskan pada suhu 800C-1000C selama 15 menit dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 575 nm. Hasilnya kemudian dicatat dan dibuat kurva perbandingan waktu inkubasi dan konsentrasi glukosa untuk mengetahui aktivitas hidrolisis selulosa oleh kultur bakteri.

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Isolasi mikroba tanah
3.1.1 Hasil
A. Pengenceran dan Isolasi dengan teknik pour plate
Gambar 1. Hasil inokulasi tiap seri pengenceran

Tabel 1. Hasil pengamatan morfologi koloni yang tumbuh pada isolasi dengan teknik pour plate
Kode Isolat
Bentuk
Tepi
Elevasi
Warna
Zona bening
A2
circular
entire
raised
Putih susu
+++
B2
circular
entire
convex
merah
+
C2
circular
entire
convex
Puih susu
+
D2
circular
entire
convex
translucent
+
E2
irregular
Lobate, curled
raised
Putih susu
+
F2
circular
entire
convex
translucent
+
G2
circular
entire
convex
Translucent dengan tepi berwarna merah
+
B.     Purifikasi isolat pada medium Nutrient Agar
Tabel 2. Hasil pengamatan pemurnian dengan metode streak plate

B.     Pembuatan Stok kultur Bakteri
Gambar 2. Stok kultur bakteri di media miring NA
3.1.2 Pembahasan
Dalam praktikum ini dilakukan isolasi mikroba khususnya bakteri selulotik dari sampel tanah yang diambil dari kebun Fakultas Biologi. Isolasi dilakukan dengan teknik pour plate pada media CMC (Carboxil Methil Cellulosa) agar. CMC (Carboxil Methil Cellulosa) adalah eter asam karboksilat turunan selulosa yang berwarna putih, tidak berbau, padat, digunakan sebagai bahan penstabil (Fennema, 1996). Penggunaan media CMC sebagai media seleksi bagi pertumbuhan mikroba khususnya bakteri dikarenakan hanya bakteri yang mampu mendegradasi selulosa yang dapat tumbuh pada media tersebut disebabkan sumber karbon yang tersedia hanya berupa selulosa. Koloni yang tumbuh pada media menandakan bakteri yang dapat memanfaatkan selulosa sebagai sumber kabonnya.
Sebelum diinokulasi, sampel tanah diencerkan terlebih dahulu dengan tingkat pengenceran 10-2, 10-3, 10-4, 10-5,  dan 10-6 yang masing-masing kemudian diinokulasikan pada media CMC agar dengan teknik pour plate. Tujuan dari pengenceran ini adalah untuk mengurangi kepadatan bakteri sehingga didapatkan koloni bakteri tunggal yang dapat dimurnikan. Setelah diinkubasi pada suhu ruang selama 3-7 hari, didapatkan berbagai koloni mikroba dalam media tersebut. Inkubasi dilakukan disuhu ruang disebabkan secara alami sampel diperoleh dari lingkungan suhu rendah seperti suhu ruang sehingga dengan asumsi bahwa bakteri yang hidup pada sampel juga dapat hidup optimal pada suhu ruang, namun proses inkubasi harus dilakukan dalam keadaan tanpa cahaya disebabkan didalam tanah secara alami cahaya kurang, sehingga hal ini dilakukan untuk menciptakan kondisi yang sesuai dengan lingkungan pertumbuhan alaminya.
Koloni yang tumbuh kemudian diamati morfologinya. Menurut Dwijoseputro (2005), pengamatan morfologi koloni meliputi karakteristik bentuk koloni, permukaan koloni, tepi koloni dan warna koloni. Umumnya isolat yang diperoleh didominasi bentuk circular atau bulat walaupun terdapat juga yang berbentuk irregular atau tidak teratur. Tepi koloni sebagian besar entire (utuh/rata), dengan elevasi sebagian besar convex (cembung), dan warna koloni bervariasi dari translucent, putih susu hingga merah.
Dari pengamatan yang dilakukan diperoleh 7 isolat yang berbeda yang menunjukkan ciri yang berbeda berdasarkan pengamatan morfologi koloni. Ketujuh isolat tersebut diberi kode A2, B2, C2, D2, E2, F2, dan G2. Ketujuh isolat tumbuh dengan baik pada media CMC agar, dengan suhu ruang, pH normal dan dalam kondisi tanpa cahaya.
Aktifitas selulotik ketujuh isolat dapat diamati secara kualitatif pada media CMC agar melalui visualisasi zona bening disekitar koloni. Terbentuknya zona bening disekitar koloni menunjukkan bahwa substrat selulosa yang terkandung dalam media CMC agar telah dipecah menjadi glukosa atau digunakan yang menandakan bakteri dapat menghasilkan enzim selulase (Rahayu et al., 2014). Besarnya zona bening pada ketujuh isolat menunjukkan perbedaan. Pada isolat A2 terlihat zona bening berukuran besar disekitar koloni dibandingkan koloni isolat lainnya, hal ini menunjukkan bahwa isolat A2 secara kualitatif memiliki aktifitas enzim selulas yang tinggi. Selanjutnya isolat bakteri yang diperoleh dimurnikan dengan metode streak plate pada media nutrient agar.  
Pada metode streak plate, penggoresan juga dilakukan berdasarkan pembagian kuadran pada cawan petri yang akan menunjukkan gradasi ketebalan pertumbuhan mikrobia. Kuadran I merupakan kuadran dengan jumlah mikrobia yang terbanyak dan belum membentuk kultur murni karena masih bercampur antar koloni. Penurunan gradasi mikrobia akan terjadi dari kuadran I hingga kuadran IV. Selain itu, pembagian cawan petri ke dalam 3 hingga 4 kuadran memperbesar kemungkinan diperolehnya koloni yang merupakan kultur murni. Kultur murni bakteri pada teknik ini biasanya diperoleh dari bakteri yang tumbuh pada goresan terakhir yang sangat tipis (Bailey and Scott, 1996).
Dari hasil pemurnian degan teknik streak plate hanya diperoleh 6 isolat murni yaitu A2, B2, C2, D2, F2 dan G2, sedangkan isolat E2 tidak tumbuh pada media NA. Tidak adanya koloni yang tumbuh dari isolat E2 mungkin diakibatkan oleh matinya isolat disebabkan pada saat inokulasi ose yang digunakan masih terlalu panas sehingga membunuh sel bakeri isolat E2 yang akan dimurnikan.
Morfologi koloni yang tumbuh pada saat purifikasi dengan menggunakan media NA berbeda dengan pada saat penumbuhan di media CMC agar. Hal ini dapat dilihat pada isolat B2 dengan koloni merah pada pertumbuhan di media CMC Agar dan ketika dimurnikan dimedia NA, isolat menjai berwarna putih susu seperti pada gambar hasil pemurnian dengan metode streak plate. Perbedaan warna dapat disebabkan karena perbedaan kandungan atau komposisi media, ketika dimedia CMC agar kemungkinan terdapat zat yang dapat menginduksi keluarnya warna merah pada koloni dan pada media NA tidak. Menurut Dwijoseputro (2005) keberadaan warna dipengaruhi oleh faktor luar seperti temperature, pH, oksigen bebas, beberapa spesies memerlukan fosfat, ada juga yang memerlukan sulfat untuk menimbulkan pigmentasi. Sehingga isolat yang sama dapat menunjukkan morfologi yang berbeda bila diamati pada media yang berbeda. 
Enam isolat yang diperoleh dari hasil pemurnian dengan metode streak plate  kemudian dipindahkan ke agar miring sebagai stok bakteri.

3.2  Enumerasi
3.2.1 Hasil
A.    Pengukuran berat kering tanah
Gambar 3. Hasil Pengukuran berat kering tanah hari keempat
Tabel 3. Pengukuran berat kering tanah
Hari
Berat Tanah + Botol + Tutup
Berat tanah
10/10/2016
15,43 gr
2 gram
11/10/2016
14,97 gr
1,54 gram
12/10/2016
14,94 gr
1,51 gram
13/10/2016
14,94 gr
1,51 gram
Catatan : Berat botol + tutup = 13,43
3.2.2 Pembahasan
Tanah merupakan suatu ekosistem yang mengandung berbagai jenis mikroba dengan morfologi dan sifat fisiologi yang berbeda-beda. Jumlah tiap kelompok mikroba sangat bervariasi, ada yang hanya terdiri atas beberapa individu, ada pula yang jumlahnya mencapai jutaan per g tanah.
            Pada percobaan ini, tanah dikeringkan berfungsi untuk menguapkan kandungan air yang ada didalam tanah, karena tanah tidak hanya mengandung mineral dan bahan organik, tetapi juga air. Dari hasil pengamatan tanah dalam keadaan basah seberat 2 gram dikeringkan selama tiga hari diperoleh berat tanah kering yang konstan 1,51 gram yang berarti didalam tanah basah terdapat kandungan air sebesar 0,49 gram. Sehingga berat kering tanah yang diperoleh 75,5% dari berat basahnya.
Mikroorganisme dalam pertumbuhannya membentuk koloni, satu koloni berasal dari satu sel, sehingga menghitung jumlah koloni dapat memberikan informasi mengenai penyebaran bakteri yang ada pada bahan, khususnya pada percobaan ini adalah tanah. Penghitungan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara langsung (direct method) dan tidak langsung (indirect method).
Pada percobaan ini dilakukan penghitungan secara tidak langsung (indirect method), Prinsip perhitungan jumlah sel bakteri secara tidak langsung adalah penentuan jumlah bakteri dengan pengenceran suspensi terlebih dahulu kemudian ditumbuhkan pada medium dengan cara-cara tertentu berdasarkan sifat dan karakteristik bakteri (Atlas, 1988). Prinsip dari metode ini adalah jika sel mikroba yang masih hidup ditumbuhkan dalam media, maka mikroba tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung dan kemudian dihitung tanpa menggunakan mikroskop.
Pengeceran pada percobaan ini perlu dilakukan agar koloni bakteri yang tumbuh akan terpisah-pisah sehingga memudahkan dalam penghitungan (Carpenter, 1977). Tingkat pengenceran yang diamati pada percobaan kali ini adalah 10-2,   10-3, 10-4, 10-5,  dan 10-6 yang ditumbuhkan pada media CMC agar. Jika diamati pada hasil penghitungan jumlah koloni maka semakin dilakukan pengenceran maka semakin banyak koloni bakteri yang terpisah dan makin sedikit jumlah sel bakterinya. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi tingkat pengenceran maka suspensi bakteri yang terbawa ke pengenceran berikutnya semakin sedikit.
Perhitungan secara tidak langsung menggunakan plate counting harus memenuhi beberapa syarat, yaitu sampel minimal tiga plate dari tiga tingkat pengenceran agar data dan trend jumlah koloni dapat dibandingkan. Selain itu,  koloni yang terbentuk harus terpisah dan tidak boleh membentuk gumpalan (spreader) lebih dari 1/3 plate serta koloni yang dihitung dari medium harus berjumlah antara 30 hingga 300 koloni. Apabila jumlah koloni kurang atau lebih maka data dianggap tidak akurat. Apabila rasio jumlah sel pada pengenceran yang berurutan antara yang tinggi dengan yang sebelumnya kurang dari 2, maka jumlah sel ambil reratanya; sedangkan apabila lebih dari 2 maka penghitungan maka yang dilaporkan hanya pengenceran terendah (Muchtadi & Srilaksmi, 1981). Ketika keempat syarat tersebut terpernuhi, maka penghitungan dapat dilakukan.
Dari hasil percobaan hanya dua data perhitungan jumlah koloni yang memenuhi syarat jumla koloni 30-300, yaitu pada tingkat pengenceran 10-2 dengan 154 koloni dan 10-3 dengan 54 koloni. Perbandingan rasio jumlah sel keduanya lebih besar dari dua sehingga yang dilaporkan adalah pengenceran 10-2  dengan 154 koloni. Berdasarkan hasil penghitungan jumlah sel bakteri pada percobaan ini diperoleh sebesar 1,5 x 104 CFU/ mL yang menunjukkan jumlah sel bakteri yang dapat hidup pada media CMC agar dengan kata lain bakteri yang dapat mendegradasi selulosa. Data perhitungan TPC kemudian digunakan untuk mengetahui jumlah sel bakteri per berat basah dan kering tanah.
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus diketahui jumlah sel bakteri selulolitik CFU/gr basah tanah dan  CFU/gr kering tanah. Menurut Brady (1984) populasi bakteri yang hidup di lapisan atas tanah (0-15 cm) sekitar 103- 1014 sedangkan menurut Willey et al. (2008) tiap gram berat kering tanah terdapat 109- 1010 sel bakteri. Hal ini berarti dari hasil perhitungan jumlah sel bakteri per gram basah tanah dan gram kering tanah menunjukkan kemelimpahan bakteri selulolitik yang diperoleh dari tanah kebun Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada.
Tabel 5. Data pengukuran OD600 pada pertumbuhan isolat
Waktu Inkubasi (jam)
Kode isolat
B2
C2
G2
0 jam (7/11/2016, 08.52)
0,007
0,011
0,010
1 jam (7/11/2016, 09.45)
0,090
0,013
0,011
6 jam (7/11/2016, 15.00)
0,072
0,208
0,245
24 jam (8/11/2016, 08.40)
0,130
0,402
0,494
30  jam (8/11/2016, 15.10)
0,178
0,775
1,180
48 jam (9/11/2016, 08.23)
0,183
0,564
0,794
54 jam (9/11/2016, 15.23)
0,262
0,588
0,825
72 jam (10/11/2016, 08.20)
0,642
0,614
0,895
78 jam (10/11/2016, 14.37)
0,714
0,628
0,930
Catatan : Terjadi kesalahan kalibrasi pengukuran OD inkubasi 30 jam
3.3.2 Pembahasan
Enam isolat bakteri yaitu A2, B2, C2, D2, F2 dan G2 yang telah ditumbuhkan di media agar miring selanjutnya dipindahkan ke media NB cair sebagai prekultur untuk pembuatan kurva pertumbuhan, inkubasi dilakukan selama 36 jam. Pembuatan prekutur dilakukan agar kultur telah diadaptasikan pada media yang sama dengan yang digunakan pada pengukuran kurva pertumbuhan. Dari keenam isolat selanjutnya dipilih tiga isolat berdasarkan proses respirasinya, isolat B2 bersifat anaeob, isolat C2 bersifat aerob, dan isolat G2 bersifat anaerob fakultatif. Penentuan sifat aerob dan anaerob dapat dilihat dari prekultur yang ditumbuhkan di media cair, ketika bakteri terlihat tumbuh pada bagian permukaan media cair maka isolat tersebut mengandung bakteri aerob, ketika bakteri yang tumbuh tersuspensi di bagian dasar menandakan isolat bakteri bersifat anarerob dan ketika bakteri terlihat tumbuh menyebar baik pada bagian permukaan ataupun dasar media cair maka isolat bakteri bersifat anaerob fakultatif. Ketiga isolat inilah yang kemudian diukur kurva pertumbuhannya.
Pembuatan kurva pertumbuhan dilakukan dengan menghitung absorbansi pada waktu yang telah ditentukan (0 jam, 1 jam, 6 jam, 24 jam, 30 jam, 48 jam, 54 jam, 72 jam dan 78 jam) pada panjang gelombang 600 nm. Setelah pengamatan selama 78 jam diperleh kurva pertumbuhan yang menunjukkan hubungan antara waktu dengan OD untuk ketiga isolat seperti Gambar 5 dibawah ini.

 Kurva yang diperoleh menunjukkan terjadinya fluktuasi utanamanya pada inkubasi 30 jam disebabkan terjadinya kesalahan pada proses kalibrasi sehingga nilai OD pada inkubasi 30 jam diduga tidak dapat mewakili pertumbuhan yang sebenarnya sehingga dilakukan rekonstruksi ulang kurva dengan melakukan penghilangan data  inkubasi 30 jam sehingga diperleh kurva sebagai berikut (Gambar 6).
Mikrobia jika dipindahkan ke dalam suatu media, mula-mula bakteri tersebut akan mengalami fase lag (adaptasi) untuk menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan di sekitarnya. Panjang atau pendeknya fase lag (adaptasi) sangat ditentukan oleh jumlah sel yang diinokulasikan, kondisi fisiologis dan morfologis bakteri, serta media kultivasi yang sesuai (Middelbeek et al., 1992).
Hasil pengamatan OD dan kurva pertumbuhan isolat C2 dan G2 terjadi fase lag yang lumayan singkat, fase logaritrmik dan fase pertumbuhan yang diperlambat, sedangkan isolat B2 tidak mengalami fase lag namun fase logaritmiknya lebih lambat dibandingkan isolat C2 dan G2. Pada isolat C2 dan G2, fase lag terjadi pada jam ke 0 hingga jam ke 1, pada fase ini umumnya bakteri tidak mengalami pertumbuhan populasi yang berarti sel mengalami perubahan komposisi kimiawi untuk beradaptasi ditempat yang baru namun fase lag (adaptasi) yang relatif singkat terjadi karena bakteri tersebut tumbuh pada media yang sama dengan media penyegaran di tahap sebelumnya (prekultur) maka penyesuaian diri dengan lingkungan yang baru berlangsung cepat.
Kultur isolat C2 dan G2 pada jam ke-1 hingga ke-48 mengalami fase logaritik yang ditandai pertumbuhan eksponensial dengan bertambahnya massa sel menjadi dua kali lipat. Walaupun mengalami fase logaritmik diwaktu yang sama pada kedua isolat namun isolat G2 memiliki laju fase logaritmik yang lebih cepat dibandingkan isolat C2. Pada jam ke-48 hingga jam ke-78 baik pada kultur isolat C2 dan C3 terjadi pertumbuhan yang diperlambat, dimana dapat dilihat dari kurva kedua kultur isolat tetap memperlihatkan pertumbuhan namun tidak secepat pada fase logaritmik hal ini disebabkan nutrisi yang mulai berkurang  sehingga pertumbuhan sel menjadi melambat.
Pada kultur isolat B2, fase pertumbuhan bakteri terjadi dalam waktu yang cukup lama dibandingkan kedua isolat lainnya. Isolat B2 tidak mengalami fase lag, namun dalam hal ini pertumbuhan kultur bakterinya menunjukkan pertumbuhan yang cukup lambat dimana fase logaritmik terjadi hingga jam ke-72 dengan laju pertumbuhan yang lebih lambat dibandingkan isolat C2 dan G2 seperti yang tergambar didalam kurva.
 3.4  Kurva larutan standar
3.4.1 Hasil
Gambar 7. Hasil reaksi larutan guloksa dengan penambahan DNS
Tabel 6. Data pengukuran larutan standar
Konsentrasi Glukosa mg/ml
Absorbansi
0
0,000
0,2
0,302
0,4
0,469
0,6
0,674
0,8
0,794
1
0,914

3.4.2 Pembahasan
Setiap bakteri memiliki kurva standar pertumbuhan bakteri. Untuk menghitung laju pembentukan gula reduksi oleh bakteri maka dilakukan pembuatan kurva standar larutan glukosa. Dalam pembuatan kurva standar ini, yang diukur adalah larutan glukosa dengan konsentrasi 0; 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; dan 1,0 ditambahkan dengan DNS. Metode yang digunakan dalam perhitungan kurva standar dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 575 nm untuk melihat tingkat kekeruhan (Optical Density) yang terbaca melalui nilai absorbansi yang dihasilkan. Namun karena sampel terlalu keruh akibat banyaknya kandungan glukosa sehingga sulit dilakukan pembacaan dengan spektrofotometer oleh karena itu dilakukan pengenceran 10 kali untuk tiap konsentrasi.
Dari hasil pengamatan diperoleh nilai absorbansi seperti pada tabel 6 lalu dibuat kurva standar larutan glukosa. Kurva standar ini merupakan kurva yang menghitung jumlah glukosa secara tidak langsung dengan meregresikan nilai absorbansi dan konsentrasi glukosa ke persamaan garis y = ax + b dimana y = absorbansi dan x = konsentrasi glukosa sehingga diperoleh kurva seperti gambar 8 dibawah ini.
Gambar 8. Kurva standar larutan glukosa
            Kurva standar yang diperoleh menunjukkan suatu garis lurus (linear) yang digunakan dalam perhitungan konsentrasi glukosa. Persamaan regresi yang diperoleh yaitu y = 0,893x + 0,079 dengan R2 = 0,9719 yang artinya 97,19% konsentrasi glukosa akan mempengaruhi nilai absorbansi. Artinya setiap peningkatan konsentrasi glukosa diikuti dengan peningkatan absorbansi. Persamaan ini akan digunakan dalam mengukur aktivitas hidrolisis selulosa oleh isolat bakteri selulolitik yang diperoleh dengan pengukuran konsentrasi gula reduksi.
Nilai regresi linear yang semakin mendekati satu menunjukkan bahwa kurva tersebut semakin valid. Persamaan garis regresi berfungsi untuk menentukan model matematis yang digunakan untuk memprediksi satu variable dari variable lain. Sedangkan nilai korelasi menunjukkan adanya kekerabatan atau hubungan antara dua variabel yang dibandingkan, dan apabila nilai regresi tersebut antara 0,9-1 maka hubungan variable tersebut adalah korelasi positif sempurna (Wallpole, 2005).

3.4  Aktivitas Hidrolisis Selulosa dengan Metode Penentuan Gula Reduksi
3.4.1        Hasil

 Tabel 7. Pengamatan absorbansi dan gula reduksi kultur media NB diperkaya selulosa
Waktu
Aborbansi
Konsentrasi Gula Reduksi
B2
C2
G2
B2
C2
G2
0 jam
0,400
0,349
0,367
0,359
0,302
0,323
24 jam
0,458
0,376
0,277
0,424
0,333
0,222
48 jam
0,542
0,223
0,237
0,518
0,161
0,177
72 jam
0,562
0,219
0,467
0,541
0,157
0,434

3.5.2 Pembahasan
            Suatu bakteri dikelompokkan ke dalam bakteri selulolitik disebabkan kemampuannya dalam menghidrolisis selulosa dengan menghasilkan enzim selulase. Dalam pengukuran aktifitas hidrolisis selulosa ini, isolat bakteri diinokulasikan ke dalam media NB yang diperkaya selulosa mikrokristalin. Penambahan selulosa ini untuk menginduksi aktifitas bakteri dalam memproduksi enzim selulase.
Hidrolisis sempurna selulosa akan menghasilkan monomer selulosa yaitu glukosa, sedangkan hidrolisis tidak sempurna akan menghasilkan disakarida dari selulosa yaitu selobiosa (Fan, 1982). Sehingga aktivitas hidrolisis selulosa dapat diukur melalui pembentukan glukosa dari pemecahan selulosa. Glukosa yang dihasilkan dari aktifitas enzim ini disebut gula reduksi. Gula reduksi adalah gula yang mempunyai kemampuan untuk mereduksi dikarenakan adanya gugus aldehid atau keton bebas. Monosakarida yang termasuk gula reduksi salah satunya glukosa, selain itu ada fruktosa dan gliseraldehid (Lehninger, 1982).
Hidrolisis selulosa menghasilkan gula reduksi yang dapat dianalisis secara kualitatif atau kuantitatif. Analisis gula reduksi secara kuantitatif dapat dilakukan dengan metode DNS. Metode DNS merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk menentukan kadar gula reduksi. Reaksi antara gula reduksi dengan DNS merupakan reaksi redoks pada gugus aldehid gula dan teroksidasi menjadi gugus karboksil. Sementara itu, DNS sebagai oksidator akan tereduksi membentuk asam 3-amino dan 5- nitrosalisilat. Bila terdapat gula reduksi pada sampel, maka larutan DNS yang awalnya berwarna kuning akan bereaksi dengan gula reduksi sehingga menimbulkan warna jingga kemerahan (Kusmiati & Agustini, 2010).
Pengujian dilakukan dengan mereaksikan 1 ml kultur isolat dengan 3 ml DNS dan 1 ml aquadest selanjutnya dipanaskan pada suhu 800C-1000C selama 15 menit dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 575 nm. Agar dapat menentukan kadar gula reduksi pada sampel digunakan persamaan dari kurva standar larutan glukosa yang telah dibuat sebelumnya. Persamaa yang diperoleh y = 0,893x + 0,079 dimana y = absorbansi dan x = kadar glukosa. Dengan mensubstitusi nilai absorbansi (y) pada tabel 7 ke persamaan tersebut dan kemudian diplotkan terhadap kurva standar, maka dapat diketahui konsentrasi atau kadar gula reduksi pada sampel (x). Hasil yang diperoleh kemudian dikonversi ke dalam bentuk grafik seperti di bawah ini.
 Dari hasil perbandingan ketiga isolat yang diperoleh, dapat dilihat konsentrasi gula reduksi yang dihasilkan oleh isolat B2  yang paling tinggi diantara konsentrasi gula reduksi dari kedua isolat lainnya. Selain itu, jika dilihat pada kurva konsentrasi gula reduksi isolat B2 terjadi penambahan jumlah konsentrasi gula reduksi seiring penambahan waktu inkubasi. Sedangkan pada isolat C2 dan G2 menunjukkan adanya penurunan konsentrasi gula reduksi pada inkubasi 48 jam. Terjadinya penurunan konsentrasi gula reduksi disebabkan penggunaan gula reduksi oleh bakteri. Namun pada isolat G2, setelah terjadinya penurunan konsentrasi gula reduksi disusul terjadinya peningkatan konsentrasi gula reduksi pada inkubasi 48 jam ke inkubasi 72 jam.
            Pada umumnya bakteri menggunakan glukosa sebagai sumber karbon untuk pertumbuhannya sehingga ketika glukosa pada medium tumbuhnya habis maka bakteri akan memanfaatkan sumber karbon selulosa dengan mensintesis enzim selulase. Oleh karenanya aktifitas pertumbuhan bakteri selulolitik sangat berkaitan erat dengan penghasilan gula reduksi dari aktivitas hidrolisis selulosa yang mana aktifitas ini diantara bakteri yang satu dan yang lain bervariasi. Hubungan diantara kedua aktifitas ini dapat dilihat pada kurva gambar 11, 12 dan 13.
Pada grafik perbandingan kurva pertumbuhan dan konsentrasi gula reduksi isolat B2 dapat dilihat bahwa seiring pertumbuhan sel bakteri terjadi peningkatan aktivitas enzim selulase yang ditandai semakin meningkatnya konsentrasi gula reduksi. Hal ini menunjukkan bahwa pada isolat B2 terjadi aktifitas hidrolisis selulosa menjadi glukosa yang menyebabkan konsentrasi gula reduksi yang terukur terus bertambah.

Pada grafik perbandingan kurva pertumbuhan dan konsentrasi gula reduksi isolat C2 dapat dilihat bahwa ketika laju pertumbuhan bakteri meiningkat maka terjadi penurunan konsentrasi gula reduksi. Hal ini berarti laju hidrolisis isolat bakteri C2 lebih lambat dibandingkan konsumsi gula yang dilakukan sel untuk tumbuh. Semakin tinggi OD sel yang merupakan laju pertumbuhan dari bakteri isolat C2 maka semakin rendah gula reduksi yang tersisa, begitu pula sebaliknya. Hal ini disebabkan, secara umum gula reduksi dalam hal ini glukosa dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk pembelahan sel, pertumbuhan biomassa, pemeliharaan sel dan menghasilkan produk metabolit.
Dari grafik dapat dilihat pada inkubasi 0 hingga 24 jam terjadi peningkatan baik jumlah sel bakteri maupun gula reduksi disebabkan karena sel selama tahap awal menghasilkan enzim selulase untuk menghidrolisis selulosa menjadi glukosa, ketika glukosa yang diproduksi dianggap telah cukup untuk digunakan dalam pertumbuhannya maka proses hidrolisis menurun. Glukosa yang cukup ini kemudian digunakan oleh sel bakteri dalam pertumbuhannya sehingga menyebabkan laju pertumbuhan bakteri meningkat dan konsentrasi gula reduksi menurun.
Dari grafik perbandingan kurva pertumbuhan dan konsentrasi gula reduksi isolat G2 memiliki pola yang hampir sama dengan isolat C2. Dapat dilihat dari grafik, pada awal pertumbuhan sel bakteri ketika inkubasi pada jam ke-0 hingga ke-48 terjadi peningkatan jumlah sel bakteri yang diiringi penurunan konsentrasi gula reduksi hal ini menunjukkan bahwa bakteri menggunakan glukosa untuk pertumbuhannya. Namun, ketika kadar glukosa didalam media semakin menurun yang menyebabkan pertumbuhan bakteri menjadi melambat, maka bakteri akan menghidrolisis substrat selulosa yang tersedia untuk diubah gula reduksi sehingga pada inkubasi ke 48 hingga inkubasi ke-72 terjadi peningkatan konsentrasi gula reduksi.
            Dari perbandingan grafik diantara ketiga isolat diketahui bahwa isolat B2 memiliki laju hidrolisis selulosa yang tinggi dan laju konsumsi gula yang rendah untuk pertumbuhannya sehingga peningkatan jumlah sel diiringi peningkatan konsentrasi gula reduksi. Pada isolat C2 laju hidrolisis selulosa lebih lambat dibandingkan konsumsi gula yang dilakukan sel untuk pertumbuhannya sehingga peningkatan jumlah sel berbanding terbalik dengan konsentrasi gula reduksi artinya ketika laju pertumbuhan meningkat maka konsentrasi gula reduksi menurun. Sedangkan pada isolat G2, pada inkubasi 0-48 jam menunjukkan pola yang serupa dengan yang terjadi pada isolat C2 dimana laju hidrolisis selulosa lebih lambat dibandingkan konsumsi gula yang dilakukan sel untuk pertumbuhannya sehingga terjadi penurunan konsentrasi gula reduksi, namun disaat gula reduksi mulai sedikit maka isolat menunjukkan pola yang mirip dengan isolat B2 dimana laju hidrolisis selulosa yang tinggi dan laju konsumsi gula yang rendah sehingga terjadi peningkatan konsentrasi gula reduksi.

BAB IV
KESIMPULAN

Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan disimpulkan bahwa :
1.      Dari hasil isolasi yang dilakukan diperoleh 7 isolat yang diberi kode A2, B2, C2, D2, E2, F2, dan G2, dimana isolat ini dapat tumbuh pada media CMC Agar yang menandakan ketujuh isolat sebagai bakteri seluolitik.
2.      Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus diketahui jumlah sel bakteri selulolitik CFU/gr basah tanah dan  CFU/gr kering tanah.
3.      Kurva pertumbuhan ketiga isolat yang diamati yaitu B2, C2 dan G2 menunjukkan bawa ketiganya memiliki kurva pertumbuhan yang berbeda namun pada umumnya semuanya melalui tahapan yang sama yaitu lag fase yang singkat diakibatkan perlakuan pre kultur dan fase logaritmik pada waktu inkubasi 48 jam hingga 78 jam. Pertumbuhan paling cepat ditunjukkan oleh isolat G2 dan paling lambat isolat B2.
4.      Hasil pengukuran kurva standar larutan glukosa diperoleh kurva regresi y = 0,893x + 0,079 dengan R2 = 0,9719 yang artinya 97,19% konsentrasi glukosa akan mempengaruhi nilai absorbansi.
5.      Meningkatnya konsentrasi gula reduksi menandakan meningkatnya hidrolisis selulosa oleh enzim selulase sehingga pada saat yang bersamaan produksi enzim selulase juga meningkat. Pada ketiga isolat yang diamati menunjukkan variasi yang berbeda dalam menghidrolisis selulosa. Isolat B2 memiliki laju hidrolisis selulosa yang tinggi dan laju konsumsi gula yang rendah.  Isolat C2 laju hidrolisis selulosa lebih lambat dibandingkan konsumsi gula. Pada isolate G2 dibeberapa waktu tertentu hidrolisis selulosa lebih lambat dibandingkan laju konsumsi gula namun diwaktu lain laju hidrolisisnya dapat lebih tinggi dibandingkan laju konsumsi gula.

DAFTAR PUSTAKA

Atlas, R. M. 1988. Microbiology Fundamental and Applications. 2nd ed. Mc Millan Publishing Company. New York. p. 101-103.
Bailey and Scott. 1996. Diagnostic Microbiology 2nd edition. The CV Mosby Company. Saint Louis. p. 22-25.
Black, J.G. 2008. Microbiology: Principles and Explorations. 7th edition. John Wiley & Sons, Inc. Singapore. p.151-152;165-174.
Brady, N. C. 1984. The Nature And Properties Of Soil. Macmillan Book Co., New York.
Carpenter, P. L. 1977. Microbiolgy. 4th ed. W. B. Saunders Company. Philadephia. p. 217-221.
Dwidjoseputro. 2005. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan. Jakarta.
Fan. 1982. The Nature of Lignocellulosic and Their Pretreatment for Enzymatic Hydrolysis. Adv.Bichem.Eng. 23: 158-187.
Fengel, D. dan Wegener, G. 1995. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi. Terjemahan Hardjono Sastrohamidjojo. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Fennema. 1996. Food Chemistry 3th Edition. Marcel Dekker, Inc. New York.
Ibrahim A.S.S and Dewany. 2007. Isolation and Identification of New Cellulases Producing Thermophilic Bacteria from an Egyptian Hot Spring and Some Properties of the Crude Enzyme. Australian Journal of Basic and Applied Sciences. 1(4): 473-478.
Jensen, R.A. 2001. General Soil Information. http://www.fs.fed.us/r6/ centraloregon /resourinfo/soil.html.  Accessed : 23 November 2016.
Kusmiati dan Agustini N.W.S. 2010. Pemanfaatan Limbah Onggok untuk Produksi Asam Sitrat dengan Penambahan Mineral Fe dan Mg pada Substrat Menggunakan Kapang Trichoderma Sp dan Aspergillus Niger. Seminar Nasional Biologi. 856-866.
 Lehninger AL. 1982. Dasar-Dasar Biokimia Jilid 1. Suhartono MT, penerjemah. Erlangga. Jakarta.
Middlebeek, E.J., R.O. Jenkins and J.S. Drijver-de Haas. 1992. Growth in batch culture. In Vitro Cultivation of Micro-organisms. Biotechnology by Open Learning.
Muchtadi, D. dan B. Srilaksmi. 1981. Petunjuk Praktikum Mikrobiologi Hasil         Petanian. Depdikbud. Jakarta. p. 25-35
Rahayu, A.G., Y. Haryani, F. Puspita. 2014. Uji Aktivitas Selulolitik Dari Tiga Isolat Bakteri Bacillus sp. Galur Lokal Riau. JOM FMIPA 1. 2 : 319-327.
Walpole, E.R. 2005. Pengantar Statistika. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Willey, J.M., L.M. Sherwood, and C.J. Woolverton. 2008. Microorganism in Terrestrial Environments. Prescott, Harley, and Klein’s Microbiology Seventh Edition. Mc. Graw Hill Higer Education. New York. p. 687-711



2 comments:

  1. Numpang promo ya Admin^^
    ajoqq^^com
    mau dapat penghasil4n dengan cara lebih mudah....
    mari segera bergabung dengan kami.....
    di ajopk.club....^_~
    segera di add Whatshapp : +855969190856

    ReplyDelete
  2. terimah kasih
    sekarang saya bisa nyontek dengan mudah...

    ReplyDelete

Review Hadalabo Gokujyun Ultimate Moisturizing Lotion

Kali ini saya mau review hadalabo gokujyun ultimate moisturizing lotion untuk kulit kering dan normal. Hasil review ini setelah pemakaian 2 ...