BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanah merupakan
lingkungan yang kompleks yang menawarkan berbagai habitat mikro. Sehingga
keragaman mikroba ditanah jauh lebih besar. Pada umumnya tanah mengandung dua
bahan utama yakni mineral dan bahan organik, walaupun penyusun utama tanah
terdiri dari mineral namun keberadaan bahan organik didalam tanah merupakan
suatu hal yang sangat penting. Salah satu bahan organik penyusun tanah adalah
selulosa (Willey et al., 2008).
Selulosa ini berasal dari sisa tumbuhan yang masuk
ke dalam tanah dan merupakan komponen utama dinding sel tumbuhan. Hidrolisis selulosa secara enzimatik dilakukan
oleh selulase. Selulase dapat dihasilkan oleh bakteri dan jamur. Proses
penguraian selulosa terjadi secara enzimatik ekstraseluler yang dilakukan oleh
beberapa mikroba selulolitik menggunakan enzim selulase. Kabanyakan mikroba
atau bakteri selulolitik hidup pada lapisan atas dari tanah pada kedalaman 0 –
30 cm dan bersifat aerob (Jensen, 2001).
Bakteri selulolitik merupakan bakteri yang memiliki
kemampuan menghidrolisis kompleks selulosa menjadi oligosakarida yang lebih
kecil dan akhirnya menjadi glukosa dengan menggunakan enzim selulase (Ibrahim,
2007). Selulase yang dihasilkan bakteri selulolitik merupakan
enzim yang dapat memutuskan ikatan glukosida β-1,4 di dalam selulosa. Dalam menghidrolisis senyawa
selulosa, kemampuan selulase sangat digantungkan pada substrat yang di gunakan. Ikatan β-1,4 glukosida pada serat selulosa
dapat dipecah menjadi monomer glukosa (Fengel & Wegener, 1995).
Untuk memperlajari aktifitas suatu
mikroorganisme utamanya dalam mendegradasi selulosa perlu dilakukan pengamatan
dan analisis, dalam mendukung hal ini yang utama dilakukan adalah isolasi. Namun di alam bebas, mikrobia hidup saling
bercampur sehingga didalam tanah bukan hanya bakteri selulolitik saja tapi
terdapat banyak mikroorganisme lainnya. Hal ini akan menyulitkan sehingga perlu
dilakukan isolasi. Teknik isolasi akan menghasilkan isolat atau kultur murni
(Black, 2008). Kultur murni hanya mengandung satu spesies
bakteri saja. Setelah isolat diperoleh untuk mengukur aktifitas enzim selulase
digunakan metode pengamatan konsentrasi gula reduksi dengan menggunakan DNS.
1.2
Tujuan
Tujuan praktikum
ini adalah
1. Mengisolasi mikrobia tanah asal kebun fakultas Biologi
Universitas Gadjah Mada yang bersifat seluloitik dengan kemampuan mendegradasi
selulosa menjadi glukosa.
2. Menentukan
jumlah bakteri yang tumbuh per berat basah dan berat kering tanah melalui
enumerasi.
3. Melakukan
pengamatan kurva pertumbuhan bakteri
selulolitik yang diperoleh.
4. Membuat
kurva standar larutan glukosa.
5. Melakukan
pengamatan aktifitas hidrolisis
selulosa dengan metode penentuan gula
reduksi.
BAB
II
METODE
2.1 Alat dan Bahan
A. Alat
Alat yang digunakan pada percobaan
ini adalah botol kaca tubular kecil, cawan petri,
erlenmeyer, tabung reaksi, kuvet, gelas kimia, spketrofotometer spektronic 20D,
colony counter, oven, tip pipet, mikropipet, pipet ukur, pemanas listrik/kompor,
vortex, timbangan, ose, lampu spritus, korek
api, pendingin/kulkas, kapas, aluminium foil, karet, kertas dan rak tabung
reaksi.
B. Bahan
Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah sampel
berupa tanah basah yang diambil dari kebun Fakultas Biologi Universitas Gadjah
Mada. Media
yang digunakan Nutrient Agar (NA), Nutrient Broth (NB), Carboxil Methil
Cellulosa (CMC) Agar, Carboxil Methil Cellulosa (CMC) broth. Bahan lainnya reagen DNS, larutan glukosa standar
1 mg/ml, aquadest, dan alkohol.
2.2
Cara
Kerja
Cara kerja pada
percobaan ini dibagi ke dalam tiga bagian besar yaitu isolasi mikroba tanah,
enumerasi, kurva pertumbuhan, kurva standard dan pengukuran aktifitas
hidrolisis selulosa dengan metode penentuan konsentrasi gula reduksi.
2.2.1 Isolasi mikroba tanah
A.
Pengenceran
Sampel diambil
dari tanah kebun fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada. Selanjutnya
dilakukan isolasi. Tahap awal isolasi dilakukan dengan pengenceran menggunakan
pengenceran bertingkat 10-2, 10-3, 10-4, 10-5
dan 10-6. Pengenceran bertingkat dilakukan dengan mengambil sampel
tanah yang ditimbang sebanyak 5g lalu
dicampurkan ke dalam 95 ml akuades steril pada erlenmeyer untuk memperoleh
pengenceran 10-2. Kemudian
diambil sebanyak 1 ml dari pengenceran 10-2 dan dipindahkan ke
tabung reaksi pertama yang berisi 9 ml akuadest steril sehingga diperleh
pengenceran 10-3,
demikian
seterusnya hingga pengenceran 10-6.
B.
Isolasi
dengan teknik pour plate
Sebanyak 1 ml hasil pengenceran 10-2 diambil dengan menggunakan mikropipet dan dimasukkan ke dalam
cawan petri kemudian ditambahkan medium CMC Agar yang masih cair. Cawan petri
ditutup lalu dilakukan homogenasi sampel pada medium dengan cara cawan petri
dipegang lalu digerakkan membentuk angka delapan. Setelah dianggap homogen,
cawan petri yang telah berisi medium dan inokulum diberi label lalu dibungkus
dengan kertas sampul dan diinkubasi selama satu minggu pada suhu ruang. Demikian
seterusnya dilakukan hingga pengenceran 10-6. Koloni yang tumbuh kemudian diberi kode untuk
selanjutnya diamati morfologi koloninya meliputi bentuk koloni
yang tumbuh, warna koloni, bentuk permukaan koloni, bentuk tepi koloni dan juga dilakukan enumerasi untuk mengetahui
jumlah sel bakteri.
C.
Purifikasi
isolat pada medium Nutrient Agar
Koloni yang
tumbuh dari hasil isolasi dengan teknik pour
plate dipilih untuk selanjutnya diambil sebanyak 1 ose untuk dimurnikan
menggunakan metode streak plate pada
media Nutrient Agar. Pada teknik ini penggoresan dilakukan dengan membagi
menjadi empat kuadran. Penggoresan dilakukan terlebih dahulu pada kuadran pertama. Untuk
penggoresan pada kuadran kedua hingga keempat, diambil sedikit hasil goresan
pada kuadran sebelumnya lalu digoreskan pada kuadran berikutnya. Koloni
yang telah murni ditandai oleh koloni terpisah kemudian dipindahkan kedalam
media biakan miring dan diinkubasikan pada suhu ruang sebagai stok
bakteri.
D.
Pembuatan
prekultur
Stok bakteri
pada agar miring diambil sebanyak satu ose kemudian ditumbuhkan pada media
nutrient broth sebagai prekultur dengan waktu inkubasi 72 jam.
2.2.2 Enumerasi
A.
Pengukuran
Berat Kering Tanah
Sampel tanah yang diperoleh ditimbang sebagai berat
basah sebanyak 2 gr kemudian dimasukkan ke dalam botol kaca tubular kecil yang
sebelumnya telah ditimbang baik berat botol kaca dan penutupnya. Untuk
pengukuran berat kering, botol kaca tubular yang berisi sampel tanah dimasukkan
ke dalam oven dalam keadaan terbuka dengan tujuan menguapkan air yang terdapat
didalam tanah. Selanjutnya dilakukan pengukuran setiap 24 jam hingga diperoleh
data pengukuran yang stabil. Data yang didapat kemudian dikurangi berat botol
kaca dan penutupnya untuk mendapatkan data berat kering tanah.
B.
Enumerasi
Enumerasi dilakukan melalui penghitungan jumlah
bakteri secara tidak langsung (indirect method). Penghitungan jumlah
koloni bakteri dilakukan dengan menghitung jumlah koloni yang tumbuh pada tiap
seri pengenceran yang telah diisolasi menggunakan teknik pour plate dengan
bantuan colony counter. Hasil penghitungan jumlah koloni kemudian
dikonversikan melalui metode Total Plate
Count (TPC) untuk memperoleh hasil estimasi jumlah sel bakteri yang ada
yang selanjutnya digunakan pada perhitungan jumlah sel per berat kering tanah.
2.2.3
Pembuatan
Kurva Pertumbuhan
Prekultur yang
telah dibuat sebelumnya kemudian sebanyak 0,5 ml diinokulasi ke dalam 100 ml
media NB steril. Selanjutya dilakukan pengukuran Optical Density (OD) dari
masing-masing kulktur bakteri pada waktu inkubasi 0 jam, 1 jam, 6 jam, 24 jam,
30 jam, 48 jam, 54 jam, 72 jam dan 78 jam mengunakan alat spektofotometer
dengan panjang gelombang 600 nm. Inkubasi dilakukan pada suhu ruang. Nilai OD
yang diperoleh kemudian digunakan untuk membuat plot kurva pemtumbuhan
berdasarkan grafik hubungan antara waktu inkubasi dengan nilai OD sehingga
dapat ditentukan kisaran rentang waktu fase lag, eksponensial, stationer,
maupun fase kematian.
2.2.4
Pembuatan
kurva larutan standar
Seri mengenceran dari larutan standar glukosa dibuat
hingga diperoleh seri konsentrasi larutan sebagai berikut:
Konsentrasi yang diinginkan (mg/ml)
|
Penambahan
Larutan Standar Glukosa (ml)
|
Volume
Aquades yang ditambahkan (ml)
|
Total
Volume (ml)
|
0
|
0
|
1,0
|
1
|
0,2
|
0,2
|
0,8
|
1
|
0,4
|
0,4
|
0,6
|
1
|
0.6
|
0,6
|
0,4
|
1
|
0,8
|
0,8
|
0,2
|
1
|
1.0
|
1.0
|
0
|
1
|
masing-masing 1 ml larutan standar diambil
dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian tambahkan 1 ml akuades dan 3 ml
reagen DNS. Larutan kemudian digojog sampai homogen dan dipanaskan pada 80-1000
C selama 15-20 Menit. Selanjutnya masing-masing larutan diukur absorbansinya
pada panjang gelombang 575 nm. Data hasil pengukuran yang diperoleh lalu dibuat
kurva dengan sumbu X = konsentrasi glukosa dan sumbu Y = absorbansi untuk
menentukan persaman garis (Y= ax+b) dan nilai koefisien korelasinya (r).
2.2.5
Pengukuran
Aktivitas Hidrolisis Selulosa dengan Metode Penentuan Gula Reduksi
Prekultur sebanyak
0,5 ml yang berisi kultur cair bakteri berumur 72 jam di inokulasikan ke dalam
media NB yang diperkaya dengan selulosa mikrokristalin dengan konsentrasi
selulosa 1 g/ml. Inokulasi dilakukan pada suhu ruang. Kemudian kultur bakteri
sebanyak 2 ml diambil secara aseptis pada waktu inkubasi 0 jam, 6 jam, 24 jam,
48 jam, 72 jam dan disimpan pada suhu 00 C sebagai cuplikan untuk
dianalisis kandungan gula reduksinya dengan metode DNS. Masing-masing cuplikan
bakteri yang disimpan pada waktu inkubasi yang berbeda kemudian sebanyak 1 ml dimasukkan kedalam tabung
reaksi yang berisi 3 ml DNS dan 1 ml aquadest, lalu dihomogenkan dengan
menggunakan vortex. Selanjutnya dipanaskan pada suhu 800C-1000C
selama 15 menit dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 575 nm. Hasilnya
kemudian dicatat dan dibuat kurva perbandingan waktu inkubasi dan konsentrasi
glukosa untuk mengetahui aktivitas hidrolisis selulosa oleh kultur bakteri.
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Isolasi
mikroba tanah
3.1.1 Hasil
A. Pengenceran dan
Isolasi dengan teknik pour plate
Gambar 1. Hasil inokulasi tiap seri pengenceran
Tabel 1. Hasil pengamatan
morfologi koloni yang tumbuh pada isolasi dengan teknik pour plate
Kode Isolat
|
Bentuk
|
Tepi
|
Elevasi
|
Warna
|
Zona bening
|
A2
|
circular
|
entire
|
raised
|
Putih susu
|
+++
|
B2
|
circular
|
entire
|
convex
|
merah
|
+
|
C2
|
circular
|
entire
|
convex
|
Puih susu
|
+
|
D2
|
circular
|
entire
|
convex
|
translucent
|
+
|
E2
|
irregular
|
Lobate, curled
|
raised
|
Putih susu
|
+
|
F2
|
circular
|
entire
|
convex
|
translucent
|
+
|
G2
|
circular
|
entire
|
convex
|
Translucent dengan tepi berwarna merah
|
+
|
B. Purifikasi
isolat pada medium Nutrient Agar
Tabel 2. Hasil pengamatan pemurnian dengan metode streak plate
B.
Pembuatan Stok
kultur Bakteri
Gambar 2. Stok kultur bakteri di media miring NA
3.1.2 Pembahasan
Dalam praktikum ini dilakukan isolasi mikroba khususnya
bakteri selulotik dari sampel tanah yang diambil dari kebun Fakultas Biologi.
Isolasi dilakukan dengan teknik pour
plate pada media CMC (Carboxil Methil Cellulosa) agar. CMC (Carboxil Methil
Cellulosa) adalah eter asam karboksilat turunan selulosa yang berwarna putih,
tidak berbau, padat, digunakan sebagai bahan penstabil (Fennema, 1996). Penggunaan media CMC sebagai media seleksi bagi
pertumbuhan mikroba khususnya bakteri dikarenakan hanya bakteri yang mampu
mendegradasi selulosa yang dapat tumbuh pada media tersebut disebabkan sumber
karbon yang tersedia hanya berupa selulosa. Koloni yang tumbuh pada media
menandakan bakteri yang dapat memanfaatkan selulosa sebagai sumber kabonnya.
Sebelum diinokulasi, sampel tanah diencerkan terlebih
dahulu dengan tingkat pengenceran 10-2, 10-3, 10-4,
10-5, dan 10-6 yang
masing-masing kemudian diinokulasikan pada media CMC agar dengan teknik pour plate. Tujuan dari pengenceran ini adalah untuk mengurangi
kepadatan bakteri sehingga didapatkan koloni bakteri tunggal yang dapat
dimurnikan. Setelah diinkubasi pada suhu ruang selama 3-7 hari, didapatkan berbagai koloni mikroba dalam
media tersebut. Inkubasi dilakukan disuhu ruang disebabkan
secara alami sampel diperoleh dari lingkungan suhu rendah seperti suhu ruang
sehingga dengan asumsi bahwa bakteri yang hidup pada sampel juga dapat hidup
optimal pada suhu ruang, namun proses inkubasi harus dilakukan dalam keadaan
tanpa cahaya disebabkan didalam tanah secara alami cahaya kurang, sehingga hal
ini dilakukan untuk menciptakan kondisi yang sesuai dengan lingkungan
pertumbuhan alaminya.
Koloni yang tumbuh kemudian
diamati morfologinya. Menurut Dwijoseputro (2005), pengamatan morfologi koloni
meliputi karakteristik bentuk koloni, permukaan koloni, tepi koloni dan warna
koloni. Umumnya isolat yang diperoleh didominasi bentuk circular atau bulat
walaupun terdapat juga yang berbentuk irregular atau tidak teratur. Tepi koloni
sebagian besar entire (utuh/rata), dengan elevasi sebagian besar convex
(cembung), dan warna koloni bervariasi dari translucent, putih susu hingga
merah.
Dari pengamatan yang
dilakukan diperoleh 7 isolat yang berbeda yang menunjukkan ciri yang berbeda
berdasarkan pengamatan morfologi koloni. Ketujuh isolat tersebut diberi kode
A2, B2, C2, D2, E2, F2, dan G2. Ketujuh isolat tumbuh dengan baik pada media
CMC agar, dengan suhu ruang, pH normal dan dalam kondisi tanpa cahaya.
Aktifitas selulotik ketujuh
isolat dapat diamati secara kualitatif pada media CMC agar melalui visualisasi
zona bening disekitar koloni. Terbentuknya zona bening disekitar koloni
menunjukkan bahwa substrat selulosa yang terkandung dalam media CMC agar telah
dipecah menjadi glukosa atau digunakan yang menandakan bakteri dapat
menghasilkan enzim selulase (Rahayu et
al., 2014). Besarnya zona bening pada ketujuh isolat menunjukkan perbedaan.
Pada isolat A2 terlihat zona bening berukuran besar disekitar koloni dibandingkan
koloni isolat lainnya, hal ini menunjukkan bahwa isolat A2 secara kualitatif
memiliki aktifitas enzim selulas yang tinggi. Selanjutnya isolat bakteri yang
diperoleh dimurnikan dengan metode streak
plate pada media nutrient agar.
Pada metode streak plate, penggoresan juga
dilakukan berdasarkan pembagian kuadran pada cawan petri yang akan menunjukkan
gradasi ketebalan pertumbuhan mikrobia. Kuadran I merupakan kuadran dengan
jumlah mikrobia yang terbanyak dan belum membentuk kultur murni karena masih
bercampur antar koloni. Penurunan gradasi mikrobia akan terjadi dari kuadran I
hingga kuadran IV. Selain itu, pembagian cawan petri ke dalam 3 hingga 4
kuadran memperbesar kemungkinan diperolehnya koloni yang merupakan kultur
murni. Kultur
murni bakteri pada teknik ini biasanya
diperoleh dari bakteri yang tumbuh pada goresan terakhir yang sangat tipis (Bailey and Scott, 1996).
Dari hasil pemurnian degan
teknik streak plate hanya diperoleh 6
isolat murni yaitu A2, B2, C2, D2, F2 dan G2, sedangkan isolat E2 tidak tumbuh
pada media NA. Tidak adanya koloni yang tumbuh dari isolat E2 mungkin
diakibatkan oleh matinya isolat disebabkan pada saat inokulasi ose yang
digunakan masih terlalu panas sehingga membunuh sel bakeri isolat E2 yang akan
dimurnikan.
Morfologi koloni yang tumbuh
pada saat purifikasi dengan menggunakan media NA berbeda dengan pada saat
penumbuhan di media CMC agar. Hal ini dapat dilihat pada isolat B2 dengan
koloni merah pada pertumbuhan di media CMC Agar dan ketika dimurnikan dimedia
NA, isolat menjai berwarna putih susu seperti pada gambar hasil pemurnian
dengan metode streak plate. Perbedaan
warna dapat disebabkan karena perbedaan kandungan atau komposisi media, ketika
dimedia CMC agar kemungkinan terdapat zat yang dapat menginduksi keluarnya
warna merah pada koloni dan pada media NA tidak. Menurut Dwijoseputro (2005)
keberadaan warna dipengaruhi oleh faktor luar seperti temperature, pH, oksigen
bebas, beberapa spesies memerlukan fosfat, ada juga yang memerlukan sulfat
untuk menimbulkan pigmentasi. Sehingga isolat yang sama dapat menunjukkan morfologi
yang berbeda bila diamati pada media yang berbeda.
Enam isolat yang diperoleh
dari hasil pemurnian dengan metode streak
plate kemudian dipindahkan ke agar
miring sebagai stok bakteri.
3.2 Enumerasi
3.2.1 Hasil
A. Pengukuran
berat kering tanah
Gambar
3. Hasil Pengukuran berat kering tanah hari keempat
Tabel 3. Pengukuran
berat kering tanah
Hari
|
Berat Tanah +
Botol + Tutup
|
Berat tanah
|
10/10/2016
|
15,43 gr
|
2 gram
|
11/10/2016
|
14,97 gr
|
1,54 gram
|
12/10/2016
|
14,94 gr
|
1,51 gram
|
13/10/2016
|
14,94 gr
|
1,51 gram
|
Catatan : Berat botol + tutup = 13,43
3.2.2 Pembahasan
Tanah merupakan suatu
ekosistem yang mengandung berbagai jenis mikroba dengan morfologi dan sifat
fisiologi yang berbeda-beda. Jumlah tiap kelompok mikroba sangat bervariasi,
ada yang hanya terdiri atas beberapa individu, ada pula yang jumlahnya mencapai
jutaan per g tanah.
Pada
percobaan ini, tanah dikeringkan berfungsi untuk menguapkan kandungan air yang
ada didalam tanah, karena tanah tidak hanya mengandung mineral dan bahan organik,
tetapi juga air. Dari hasil pengamatan tanah dalam keadaan basah seberat 2 gram
dikeringkan selama tiga hari diperoleh berat tanah kering yang konstan 1,51
gram yang berarti didalam tanah basah terdapat kandungan air sebesar 0,49 gram.
Sehingga berat kering tanah yang diperoleh 75,5% dari berat basahnya.
Mikroorganisme dalam pertumbuhannya membentuk koloni,
satu koloni berasal dari satu sel, sehingga menghitung jumlah koloni dapat
memberikan informasi mengenai penyebaran bakteri yang ada pada bahan, khususnya
pada percobaan ini adalah tanah. Penghitungan dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu secara langsung (direct method)
dan tidak langsung (indirect method).
Pada percobaan ini dilakukan penghitungan secara tidak
langsung (indirect method), Prinsip
perhitungan jumlah sel bakteri secara tidak langsung adalah penentuan jumlah
bakteri dengan pengenceran suspensi terlebih dahulu kemudian ditumbuhkan pada
medium dengan cara-cara tertentu berdasarkan sifat dan karakteristik bakteri (Atlas, 1988). Prinsip dari metode ini
adalah jika sel mikroba yang masih hidup ditumbuhkan dalam media, maka mikroba
tersebut akan berkembang biak dan membentuk koloni yang dapat dilihat langsung
dan kemudian dihitung tanpa menggunakan mikroskop.
Pengeceran pada percobaan ini perlu dilakukan agar koloni
bakteri yang tumbuh akan terpisah-pisah sehingga memudahkan dalam penghitungan
(Carpenter, 1977). Tingkat pengenceran yang
diamati pada percobaan kali ini adalah 10-2, 10-3, 10-4, 10-5,
dan 10-6 yang ditumbuhkan
pada media CMC agar. Jika diamati pada hasil penghitungan jumlah
koloni maka semakin dilakukan pengenceran maka semakin banyak koloni bakteri
yang terpisah dan makin sedikit jumlah sel bakterinya. Hal ini disebabkan
karena semakin tinggi tingkat pengenceran maka suspensi bakteri yang terbawa ke
pengenceran berikutnya semakin sedikit.
Perhitungan secara tidak langsung menggunakan plate
counting harus memenuhi beberapa syarat, yaitu sampel minimal tiga plate
dari tiga tingkat pengenceran agar data dan trend jumlah koloni dapat
dibandingkan. Selain itu, koloni yang
terbentuk harus terpisah dan tidak boleh membentuk gumpalan (spreader) lebih
dari 1/3 plate serta koloni yang dihitung dari medium harus berjumlah antara 30 hingga 300 koloni.
Apabila jumlah koloni kurang atau lebih maka data dianggap tidak akurat.
Apabila rasio jumlah sel pada pengenceran yang berurutan antara yang tinggi
dengan yang sebelumnya kurang dari 2, maka jumlah sel ambil reratanya;
sedangkan apabila lebih dari 2 maka penghitungan maka yang dilaporkan hanya pengenceran
terendah (Muchtadi & Srilaksmi, 1981). Ketika
keempat syarat tersebut terpernuhi, maka penghitungan dapat dilakukan.
Dari hasil percobaan hanya dua data perhitungan jumlah
koloni yang memenuhi syarat jumla koloni 30-300, yaitu pada tingkat pengenceran
10-2
dengan 154 koloni dan 10-3 dengan 54 koloni. Perbandingan
rasio jumlah sel keduanya lebih besar dari dua sehingga yang dilaporkan adalah
pengenceran 10-2 dengan 154
koloni. Berdasarkan hasil
penghitungan jumlah sel bakteri pada percobaan ini diperoleh sebesar 1,5 x 104 CFU/ mL yang menunjukkan jumlah sel bakteri yang dapat
hidup pada media CMC agar dengan kata lain bakteri yang dapat mendegradasi
selulosa. Data perhitungan TPC kemudian digunakan untuk mengetahui jumlah sel
bakteri per berat basah dan kering tanah.
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan
rumus diketahui jumlah sel bakteri selulolitik
CFU/gr basah tanah dan
CFU/gr
kering tanah. Menurut Brady (1984) populasi bakteri yang hidup di lapisan atas
tanah (0-15 cm) sekitar 103- 1014 sedangkan menurut Willey
et al. (2008) tiap gram berat kering
tanah terdapat 109- 1010 sel bakteri. Hal ini berarti dari
hasil perhitungan jumlah sel bakteri per gram basah tanah dan gram kering tanah
menunjukkan kemelimpahan bakteri selulolitik yang diperoleh dari tanah kebun
Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada.
Tabel 5. Data pengukuran OD600 pada pertumbuhan
isolat
Waktu Inkubasi (jam)
|
Kode isolat
|
||
B2
|
C2
|
G2
|
|
0
jam (7/11/2016, 08.52)
|
0,007
|
0,011
|
0,010
|
1
jam (7/11/2016, 09.45)
|
0,090
|
0,013
|
0,011
|
6
jam (7/11/2016, 15.00)
|
0,072
|
0,208
|
0,245
|
24
jam (8/11/2016, 08.40)
|
0,130
|
0,402
|
0,494
|
30 jam (8/11/2016, 15.10)
|
0,178
|
0,775
|
1,180
|
48
jam (9/11/2016, 08.23)
|
0,183
|
0,564
|
0,794
|
54
jam (9/11/2016, 15.23)
|
0,262
|
0,588
|
0,825
|
72
jam (10/11/2016, 08.20)
|
0,642
|
0,614
|
0,895
|
78
jam (10/11/2016, 14.37)
|
0,714
|
0,628
|
0,930
|
Catatan : Terjadi kesalahan kalibrasi
pengukuran OD inkubasi 30 jam
3.3.2
Pembahasan
Enam isolat bakteri
yaitu A2, B2,
C2, D2, F2 dan G2 yang telah ditumbuhkan di media agar
miring selanjutnya dipindahkan ke media NB cair sebagai prekultur untuk
pembuatan kurva pertumbuhan, inkubasi dilakukan selama 36 jam. Pembuatan
prekutur dilakukan agar kultur telah diadaptasikan pada media yang sama dengan
yang digunakan pada pengukuran kurva pertumbuhan. Dari keenam isolat
selanjutnya dipilih tiga isolat berdasarkan proses respirasinya, isolat B2
bersifat anaeob, isolat C2 bersifat aerob, dan isolat G2 bersifat anaerob
fakultatif. Penentuan sifat aerob dan anaerob dapat dilihat dari prekultur yang
ditumbuhkan di media cair, ketika bakteri terlihat tumbuh pada bagian permukaan
media cair maka isolat tersebut mengandung bakteri aerob, ketika bakteri yang
tumbuh tersuspensi di bagian dasar menandakan isolat bakteri bersifat anarerob
dan ketika bakteri terlihat tumbuh menyebar baik pada bagian permukaan ataupun
dasar media cair maka isolat bakteri bersifat anaerob fakultatif. Ketiga isolat
inilah yang kemudian diukur kurva pertumbuhannya.
Pembuatan kurva
pertumbuhan dilakukan dengan menghitung absorbansi pada waktu yang telah
ditentukan (0 jam, 1 jam, 6 jam, 24 jam, 30 jam, 48 jam, 54 jam, 72 jam dan 78
jam) pada panjang gelombang 600 nm. Setelah pengamatan selama 78 jam diperleh
kurva pertumbuhan yang menunjukkan hubungan antara waktu dengan OD untuk ketiga
isolat seperti Gambar 5 dibawah ini.
Mikrobia jika dipindahkan ke dalam suatu
media, mula-mula bakteri tersebut akan mengalami fase lag (adaptasi) untuk
menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan di sekitarnya. Panjang atau
pendeknya fase lag (adaptasi) sangat ditentukan oleh jumlah sel yang
diinokulasikan, kondisi fisiologis dan morfologis bakteri, serta media
kultivasi yang sesuai (Middelbeek et al.,
1992).
Hasil pengamatan OD dan
kurva pertumbuhan isolat C2 dan G2 terjadi fase lag yang lumayan singkat, fase
logaritrmik dan fase pertumbuhan yang diperlambat, sedangkan isolat B2 tidak
mengalami fase lag namun fase logaritmiknya lebih lambat dibandingkan isolat C2
dan G2. Pada isolat C2 dan G2, fase lag terjadi pada jam ke 0 hingga jam ke 1,
pada fase ini umumnya bakteri tidak mengalami pertumbuhan populasi yang berarti
sel mengalami perubahan komposisi kimiawi untuk beradaptasi ditempat yang baru
namun fase lag (adaptasi) yang relatif singkat terjadi karena bakteri tersebut
tumbuh pada media yang sama dengan media penyegaran di tahap sebelumnya (prekultur)
maka penyesuaian diri dengan lingkungan yang baru berlangsung cepat.
Kultur isolat C2 dan G2
pada jam ke-1 hingga ke-48 mengalami fase logaritik yang ditandai pertumbuhan
eksponensial dengan bertambahnya massa sel menjadi dua kali lipat. Walaupun
mengalami fase logaritmik diwaktu yang sama pada kedua isolat namun isolat G2
memiliki laju fase logaritmik yang lebih cepat dibandingkan isolat C2. Pada jam
ke-48 hingga jam ke-78 baik pada kultur isolat C2 dan C3 terjadi pertumbuhan
yang diperlambat, dimana dapat dilihat dari kurva kedua kultur isolat tetap
memperlihatkan pertumbuhan namun tidak secepat pada fase logaritmik hal ini
disebabkan nutrisi yang mulai berkurang
sehingga pertumbuhan sel menjadi melambat.
Pada kultur isolat B2,
fase pertumbuhan bakteri terjadi dalam waktu yang cukup lama dibandingkan kedua
isolat lainnya. Isolat B2 tidak mengalami fase lag, namun dalam hal ini
pertumbuhan kultur bakterinya menunjukkan pertumbuhan yang cukup lambat dimana
fase logaritmik terjadi hingga jam ke-72 dengan laju pertumbuhan yang lebih
lambat dibandingkan isolat C2 dan G2 seperti yang tergambar didalam kurva.
3.4.1
Hasil
Gambar
7. Hasil reaksi larutan guloksa dengan penambahan DNS
Tabel 6. Data pengukuran larutan standar
Konsentrasi Glukosa mg/ml
|
Absorbansi
|
0
|
0,000
|
0,2
|
0,302
|
0,4
|
0,469
|
0,6
|
0,674
|
0,8
|
0,794
|
1
|
0,914
|
3.4.2
Pembahasan
Setiap bakteri memiliki
kurva standar pertumbuhan bakteri. Untuk menghitung laju pembentukan gula
reduksi oleh bakteri maka dilakukan pembuatan kurva standar larutan glukosa.
Dalam pembuatan kurva standar ini, yang diukur adalah larutan glukosa dengan
konsentrasi 0; 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; dan 1,0 ditambahkan dengan DNS. Metode yang
digunakan dalam perhitungan kurva standar dengan menggunakan spektrofotometer
pada panjang gelombang 575 nm untuk melihat tingkat kekeruhan (Optical Density) yang terbaca melalui
nilai absorbansi yang dihasilkan. Namun karena sampel terlalu keruh akibat
banyaknya kandungan glukosa sehingga sulit dilakukan pembacaan dengan spektrofotometer
oleh karena itu dilakukan pengenceran 10 kali untuk tiap konsentrasi.
Dari hasil pengamatan
diperoleh nilai absorbansi seperti pada tabel 6 lalu dibuat kurva standar
larutan glukosa. Kurva standar ini merupakan kurva yang menghitung jumlah
glukosa secara tidak langsung dengan meregresikan nilai absorbansi dan
konsentrasi glukosa ke persamaan garis y = ax + b dimana y = absorbansi dan x =
konsentrasi glukosa sehingga diperoleh kurva seperti gambar 8 dibawah ini.
Gambar
8. Kurva standar larutan glukosa
Kurva
standar yang diperoleh menunjukkan suatu garis lurus (linear) yang digunakan
dalam perhitungan konsentrasi glukosa. Persamaan regresi yang diperoleh yaitu y
= 0,893x + 0,079 dengan R2 = 0,9719 yang artinya 97,19% konsentrasi
glukosa akan mempengaruhi nilai absorbansi. Artinya setiap peningkatan
konsentrasi glukosa diikuti dengan peningkatan absorbansi. Persamaan ini akan
digunakan dalam mengukur aktivitas hidrolisis selulosa oleh isolat bakteri
selulolitik yang diperoleh dengan pengukuran konsentrasi gula reduksi.
Nilai regresi linear
yang semakin mendekati satu menunjukkan bahwa kurva tersebut semakin valid.
Persamaan garis regresi berfungsi untuk menentukan model matematis yang
digunakan untuk memprediksi satu variable dari variable lain. Sedangkan nilai
korelasi menunjukkan adanya kekerabatan atau hubungan antara dua variabel yang
dibandingkan, dan apabila nilai regresi tersebut antara 0,9-1 maka hubungan
variable tersebut adalah korelasi positif sempurna (Wallpole, 2005).
3.4 Aktivitas Hidrolisis Selulosa dengan
Metode Penentuan Gula Reduksi
3.4.1
Hasil
Tabel 7. Pengamatan
absorbansi dan gula reduksi kultur media NB diperkaya selulosa
Waktu
|
Aborbansi
|
Konsentrasi Gula Reduksi
|
||||
B2
|
C2
|
G2
|
B2
|
C2
|
G2
|
|
0 jam
|
0,400
|
0,349
|
0,367
|
0,359
|
0,302
|
0,323
|
24 jam
|
0,458
|
0,376
|
0,277
|
0,424
|
0,333
|
0,222
|
48 jam
|
0,542
|
0,223
|
0,237
|
0,518
|
0,161
|
0,177
|
72 jam
|
0,562
|
0,219
|
0,467
|
0,541
|
0,157
|
0,434
|
3.5.2
Pembahasan
Suatu
bakteri dikelompokkan ke dalam bakteri selulolitik disebabkan kemampuannya
dalam menghidrolisis selulosa dengan menghasilkan enzim selulase. Dalam
pengukuran aktifitas hidrolisis selulosa ini, isolat bakteri diinokulasikan ke
dalam media NB yang diperkaya selulosa mikrokristalin. Penambahan selulosa ini
untuk menginduksi aktifitas bakteri dalam memproduksi enzim selulase.
Hidrolisis sempurna selulosa akan menghasilkan
monomer selulosa yaitu glukosa, sedangkan hidrolisis tidak sempurna akan menghasilkan
disakarida dari selulosa yaitu selobiosa (Fan, 1982). Sehingga aktivitas hidrolisis
selulosa dapat diukur melalui pembentukan glukosa dari pemecahan selulosa.
Glukosa yang dihasilkan dari aktifitas enzim ini disebut gula reduksi. Gula
reduksi adalah gula yang mempunyai kemampuan untuk mereduksi dikarenakan adanya
gugus aldehid atau keton bebas. Monosakarida yang termasuk gula reduksi salah
satunya glukosa, selain itu ada fruktosa dan gliseraldehid (Lehninger, 1982).
Hidrolisis selulosa menghasilkan gula reduksi yang dapat
dianalisis secara kualitatif atau kuantitatif. Analisis gula reduksi secara
kuantitatif dapat dilakukan dengan metode DNS. Metode DNS merupakan metode yang
paling banyak digunakan untuk menentukan kadar gula reduksi. Reaksi antara gula
reduksi dengan DNS merupakan reaksi redoks pada gugus aldehid gula dan
teroksidasi menjadi gugus karboksil. Sementara itu, DNS sebagai oksidator akan
tereduksi membentuk asam 3-amino dan 5- nitrosalisilat. Bila terdapat gula
reduksi pada sampel, maka larutan DNS yang awalnya berwarna kuning akan
bereaksi dengan gula reduksi sehingga menimbulkan warna jingga kemerahan
(Kusmiati & Agustini, 2010).
Pengujian dilakukan dengan mereaksikan 1 ml kultur
isolat dengan 3 ml DNS dan 1 ml aquadest selanjutnya dipanaskan pada suhu 800C-1000C
selama 15 menit dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 575 nm. Agar
dapat menentukan kadar gula reduksi pada sampel digunakan persamaan dari kurva
standar larutan glukosa yang telah dibuat sebelumnya. Persamaa yang diperoleh y
= 0,893x + 0,079 dimana y = absorbansi dan x = kadar glukosa. Dengan
mensubstitusi nilai absorbansi (y) pada tabel 7 ke persamaan tersebut dan
kemudian diplotkan terhadap kurva standar, maka dapat diketahui konsentrasi
atau kadar gula reduksi pada sampel (x). Hasil yang diperoleh kemudian
dikonversi ke dalam bentuk grafik seperti di bawah ini.
Pada umumnya bakteri menggunakan
glukosa sebagai sumber karbon untuk pertumbuhannya sehingga ketika glukosa pada
medium tumbuhnya habis maka bakteri akan memanfaatkan sumber karbon selulosa
dengan mensintesis enzim selulase. Oleh karenanya aktifitas pertumbuhan bakteri
selulolitik sangat berkaitan erat dengan penghasilan gula reduksi dari
aktivitas hidrolisis selulosa yang mana aktifitas ini diantara bakteri yang
satu dan yang lain bervariasi. Hubungan diantara kedua aktifitas ini dapat
dilihat pada kurva gambar 11, 12 dan 13.
Pada grafik perbandingan kurva pertumbuhan dan
konsentrasi gula reduksi isolat B2 dapat dilihat bahwa seiring pertumbuhan sel
bakteri terjadi peningkatan aktivitas enzim selulase yang ditandai semakin meningkatnya
konsentrasi gula reduksi. Hal ini menunjukkan bahwa pada isolat B2 terjadi
aktifitas hidrolisis selulosa menjadi glukosa yang menyebabkan konsentrasi gula
reduksi yang terukur terus bertambah.
Pada
grafik perbandingan kurva pertumbuhan dan konsentrasi gula reduksi isolat C2
dapat dilihat bahwa ketika laju pertumbuhan bakteri meiningkat maka terjadi
penurunan konsentrasi gula reduksi. Hal ini berarti laju hidrolisis isolat
bakteri C2 lebih lambat dibandingkan konsumsi gula yang dilakukan sel untuk
tumbuh. Semakin tinggi OD sel yang merupakan laju pertumbuhan dari bakteri
isolat C2 maka semakin rendah gula reduksi yang tersisa, begitu pula
sebaliknya. Hal ini disebabkan, secara umum gula reduksi dalam hal ini glukosa
dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk pembelahan sel, pertumbuhan biomassa,
pemeliharaan sel dan menghasilkan produk metabolit.
Dari grafik dapat dilihat pada inkubasi 0 hingga 24
jam terjadi peningkatan baik jumlah sel bakteri maupun gula reduksi disebabkan
karena sel selama tahap awal menghasilkan enzim selulase untuk menghidrolisis
selulosa menjadi glukosa, ketika glukosa yang diproduksi dianggap telah cukup
untuk digunakan dalam pertumbuhannya maka proses hidrolisis menurun. Glukosa
yang cukup ini kemudian digunakan oleh sel bakteri dalam pertumbuhannya
sehingga menyebabkan laju pertumbuhan bakteri meningkat dan konsentrasi gula
reduksi menurun.
Dari grafik perbandingan kurva
pertumbuhan dan konsentrasi gula reduksi isolat G2 memiliki pola yang hampir
sama dengan isolat C2. Dapat dilihat dari grafik, pada awal pertumbuhan sel
bakteri ketika inkubasi pada jam ke-0 hingga ke-48 terjadi peningkatan jumlah
sel bakteri yang diiringi penurunan konsentrasi gula reduksi hal ini
menunjukkan bahwa bakteri menggunakan glukosa untuk pertumbuhannya. Namun,
ketika kadar glukosa didalam media semakin menurun yang menyebabkan pertumbuhan
bakteri menjadi melambat, maka bakteri akan menghidrolisis substrat selulosa
yang tersedia untuk diubah gula reduksi sehingga pada inkubasi ke 48 hingga
inkubasi ke-72 terjadi peningkatan konsentrasi gula reduksi.
Dari
perbandingan grafik diantara ketiga isolat diketahui bahwa isolat B2 memiliki
laju hidrolisis selulosa yang tinggi dan laju konsumsi gula yang rendah untuk
pertumbuhannya sehingga peningkatan jumlah sel diiringi peningkatan konsentrasi
gula reduksi. Pada isolat C2 laju hidrolisis selulosa lebih lambat dibandingkan
konsumsi gula yang dilakukan sel untuk pertumbuhannya sehingga peningkatan
jumlah sel berbanding terbalik dengan konsentrasi gula reduksi artinya ketika
laju pertumbuhan meningkat maka konsentrasi gula reduksi menurun. Sedangkan
pada isolat G2, pada inkubasi 0-48 jam menunjukkan pola yang serupa dengan yang
terjadi pada isolat C2 dimana laju hidrolisis selulosa lebih lambat
dibandingkan konsumsi gula yang dilakukan sel untuk pertumbuhannya sehingga
terjadi penurunan konsentrasi gula reduksi, namun disaat gula reduksi mulai
sedikit maka isolat menunjukkan pola yang mirip dengan isolat B2 dimana laju
hidrolisis selulosa yang tinggi dan laju konsumsi gula yang rendah sehingga
terjadi peningkatan konsentrasi gula reduksi.
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan disimpulkan bahwa :
1.
Dari
hasil isolasi yang dilakukan diperoleh 7 isolat yang diberi kode A2, B2, C2,
D2, E2, F2, dan G2, dimana isolat ini dapat tumbuh pada media CMC Agar yang
menandakan ketujuh isolat sebagai bakteri seluolitik.
2.
Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus
diketahui jumlah sel bakteri selulolitik
CFU/gr
basah tanah dan
CFU/gr kering tanah.
3.
Kurva
pertumbuhan ketiga isolat yang diamati yaitu B2, C2 dan G2 menunjukkan bawa
ketiganya memiliki kurva pertumbuhan yang berbeda namun pada umumnya semuanya
melalui tahapan yang sama yaitu lag fase yang singkat diakibatkan perlakuan pre
kultur dan fase logaritmik pada waktu inkubasi 48 jam hingga 78 jam.
Pertumbuhan paling cepat ditunjukkan oleh isolat G2 dan paling lambat isolat
B2.
4.
Hasil
pengukuran kurva standar larutan glukosa diperoleh kurva regresi y = 0,893x +
0,079 dengan R2 = 0,9719 yang artinya 97,19% konsentrasi glukosa
akan mempengaruhi nilai absorbansi.
5.
Meningkatnya
konsentrasi gula reduksi menandakan meningkatnya hidrolisis selulosa oleh enzim
selulase sehingga pada saat yang bersamaan produksi enzim selulase juga
meningkat. Pada ketiga isolat yang diamati menunjukkan variasi yang berbeda
dalam menghidrolisis selulosa. Isolat B2 memiliki laju hidrolisis selulosa yang
tinggi dan laju konsumsi gula yang rendah.
Isolat C2 laju hidrolisis selulosa lebih lambat dibandingkan konsumsi
gula. Pada isolate G2 dibeberapa waktu tertentu hidrolisis selulosa lebih
lambat dibandingkan laju konsumsi gula namun diwaktu lain laju hidrolisisnya
dapat lebih tinggi dibandingkan laju konsumsi gula.
DAFTAR PUSTAKA
Atlas, R. M. 1988. Microbiology Fundamental and Applications. 2nd ed. Mc
Millan Publishing Company. New York. p. 101-103.
Bailey and Scott. 1996. Diagnostic Microbiology 2nd
edition. The CV Mosby Company. Saint Louis. p. 22-25.
Black, J.G. 2008. Microbiology: Principles and
Explorations. 7th edition. John Wiley & Sons, Inc.
Singapore. p.151-152;165-174.
Brady, N. C. 1984. The Nature And Properties Of Soil. Macmillan Book Co., New York.
Carpenter, P. L. 1977. Microbiolgy. 4th ed. W. B. Saunders Company.
Philadephia. p. 217-221.
Dwidjoseputro. 2005. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Djambatan. Jakarta.
Fan. 1982. The
Nature of Lignocellulosic and Their Pretreatment for Enzymatic Hydrolysis. Adv.Bichem.Eng. 23: 158-187.
Fengel, D. dan Wegener, G.
1995. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi. Terjemahan Hardjono
Sastrohamidjojo. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Fennema. 1996. Food
Chemistry 3th Edition. Marcel Dekker, Inc. New York.
Ibrahim A.S.S and Dewany. 2007. Isolation and Identification of New Cellulases Producing Thermophilic
Bacteria from an Egyptian Hot Spring and Some Properties of the Crude Enzyme.
Australian Journal of Basic and Applied Sciences. 1(4): 473-478.
Jensen, R.A. 2001. General Soil
Information. http://www.fs.fed.us/r6/
centraloregon /resourinfo/soil.html. Accessed : 23 November 2016.
Kusmiati dan Agustini N.W.S. 2010. Pemanfaatan Limbah Onggok untuk Produksi Asam Sitrat dengan Penambahan
Mineral Fe dan Mg pada Substrat Menggunakan Kapang Trichoderma Sp dan Aspergillus Niger. Seminar Nasional Biologi. 856-866.
Lehninger AL. 1982. Dasar-Dasar
Biokimia Jilid 1. Suhartono MT, penerjemah. Erlangga. Jakarta.
Middlebeek, E.J., R.O. Jenkins and J.S. Drijver-de
Haas. 1992. Growth in batch culture. In Vitro Cultivation of Micro-organisms.
Biotechnology by Open Learning.
Muchtadi, D. dan B.
Srilaksmi. 1981. Petunjuk Praktikum Mikrobiologi Hasil Petanian. Depdikbud. Jakarta. p.
25-35
Rahayu, A.G., Y. Haryani, F. Puspita. 2014. Uji Aktivitas Selulolitik Dari Tiga Isolat
Bakteri Bacillus sp. Galur Lokal Riau. JOM FMIPA 1. 2 : 319-327.
Walpole, E.R. 2005. Pengantar Statistika. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Willey, J.M., L.M.
Sherwood, and C.J. Woolverton. 2008. Microorganism
in Terrestrial Environments. Prescott,
Harley, and Klein’s Microbiology Seventh Edition. Mc. Graw Hill Higer
Education. New York. p. 687-711
Numpang promo ya Admin^^
ReplyDeleteajoqq^^com
mau dapat penghasil4n dengan cara lebih mudah....
mari segera bergabung dengan kami.....
di ajopk.club....^_~
segera di add Whatshapp : +855969190856
terimah kasih
ReplyDeletesekarang saya bisa nyontek dengan mudah...