PENDAHULUAN
Profesor Wim Vanduffel,
pakar neurofisiologi dari KU Leuven dan Harvard Medical School mengatakan “Kecerdasan
manusia dibentuk oleh evolusi” (Tempo, 2013). Pembentukan kecerdasan ini tidak
lepas dari peranan otak yang merupakan pusat dari sistem saraf. Otak adalah bagian
terpenting dari manusia karena merupakan organ pusat yang bertanggung jawab
dalam hal kecakapan, kemampuan berfikir, kesadaran diri dan pembelajaran
budaya. Evolusi yang terjadi pada otak manusia, membuat manusia menjadi jauh
lebih maju dibandingkan simpanse yang merupakan kerabat dekatnya (Neubauer
& Hublin, 2012). Selain itu, perkembangan kecerdasan pada manusia
menjadikannya sebagai organisme yang unik, dimana hanya pada manusia dapat
ditemui adanya kebudayaan.
Richerson dan Boyd
(2005) dalam tulisannya mengatakan “The
existence of human culture is a deep evolutionary mystery, on a par with the
origins of life itself” (Keberadaan budaya manusia merupakan misteri yang
sangat mendalam, setara dengan asal usul kehidupan itu sendiri). Oleh karena
itu pengkajian terhadap keberadaan budaya menjadi menarik. Bagaimanakah
hubungan antara perkembangan kecerdasan terhadap kebudayaan? Hal ini dapat
diungkap dari pengkajian evolusi otak manusia terhadap perkembangan evolusi
budaya.
Dalam tulisan ini
akan dikaji mengenai keterkaitan evolusi otak dan evolusi budaya. Pembahasan
dibagi kedalam tiga segmen, yaitu: (I) rekonstruksi evolusi otak manusia
melalui pengukuran volume otak hominid, rekonstruksi yang dilakukan berdasarkan
bukti-bukti fosil utamanya fosil tempurung kepala untuk mendapatkan data mengenai
volume otak yang kemudian diperoleh data mengenai volume otak tiap-tiap hominid
di zaman purba (II) rasio perbandingan volume otak dan massa tubuh hubungannya
dalam evolusi otak (III) pengaruh evolusi otak terhadap evolusi budaya.
PEMBAHASAN
A.
Evolusi
Otak Manusia: Rekonstruksi Berdasarkan Pengukuran Volume Otak Hominid
Pemahaman terhadap
evolusi otak manusia haruslah dilakukan berdasarkan kajian mendalam terhadap
rekonstruksi evolusi manusia awal atau manusia purba hingga manusia modern. Rekonstruksi
ini dilakukan berdasarkan catatan yang terkandung pada fosil yang ditemukan di
situs-situs peradaban manusia purba. Salah satu komponen yang dijadikan sebagai
bahan kajian evolusioner adalah volume otak manusia. Otak manusia adalah
komponen lunak yang hampir tidak mungkin menjadi fosil, namun kajian terhadap
volume tengkorak (cranium) menjadi
hal evolusioner yang menarik untuk dipelajari lebih lanjut (Neubauer &
Hublin, 2012). Catatan fosil dapat menjelaskan tentang evolusi karena
menunjukkan bahwa organisme masa lalu berbeda dengan oganisme masa kini dan
bahwa banyak spesies yang telah punah sehingga dapat dijadikan petunjuk dalam
melihat perubahan evolusioner yang terjadi seiring waktu pada berbagai kelompok
organisme (Campbell et al., 2008).
Fosil
yang paling sering diamati selama mempelajari evolusi otak adalah tempurung
kepala. Tempurung kepala ini mencerminkan ukuran dan morfologi luar otak dan
jaringan disekitarnya. Selain dengan fosil tempurung kepala dapat pula dengan
memperhatikan cetakan endokranial atau disebut juga “endocast”. Terkadang endocast
dapat muncul secara alami ketika tempurung kepala terisi dengan sedimen, salah
satunya ditemukan pada Australopithecus
africanus yang bernama Taung (Dart, 1925). Endocast juga dapat dibuat secara artifisial menggunakan bahan
cetakan seperti lateks cair ke tempurung kepala internal (Falk, 1986; Holloway et al., 2004). Belakangan ini berkembang
teknik pembuatan endocast menggunakan
teknologi terkini yang disebut ‘virtual
endocast’ berdasarkan tomografi (CT) scan
tulang kepala yang kemudian di rekonstruksi di dalam komputer (Gunz et al., 2010; Neubauer & Hublin,
2012).
Endocast fosil Homo menunjukkan
pentingnya ukuran otak dalam evolusi menuju Homo sapiens. Perubahan morfologis
yang terkait dengan sejumlah kapasitas penting pada hominid adalah peningkatan
volume otak yang luar biasa (Tabel 1) (Neubauer & Hublin, 2012).
Tabel 1. Perbandingan volume
otak beberapa fosil spesies hominid di seluruh dunia (Karwur & Ranimpi, 2010)
Selama evolusi hominid,
pada umumnya terjadi peningkatan ukuran atau volume otak secara mutlak dan
relatif dapat diamati walaupun pada beberapa periode relatif statis dan
dibeberapa periode terlihat terjadi ekpansi otak (Holloway et al, 2004; Nebauer & Hublin, 2012).
Bailey dan Geary
(2009) mengajukan sebuah hipotesis bahwa kondisi iklim, tekanan ekologi, dan kompetisi
sosial mendorong peningkatan ukuran otak hominid menjadi tiga kali lipat.
Keduanya melakukan penelitian di 175 lokasi penemuan tengkorak hominid dengan
melihat ketiga faktor tersebut pada fosil dengan usia antara 1.900.000-10.000
tahun yang lalu.
B.
Perkembangan
Otak Manusia: Rasio Volume Otak terhadap Massa Tubuh dalam Evolusi Otak Manusia
Peningkatan volume otak
sangatlah penting dalam evolusi manusia. Terdapat kecenderungan peningkatan
otak mamalia utamanya primata di dalam proses evolusi yang terjadi selama ini.
Semakin besar volume otak maka semakin progresif pula spesies tersebut (Neubauer
& Hublin, 2012). Selama beberapa decade telah dilakukan banyak penelitian
tentang pengukuran otak dan hampir tidak mungkin untuk menjelaskan semuanya.
Namun, studi dari Stephan dan Andy (1969), Sacher (1970) dan Holloway (1979) membantu
untuk menjelaskan hal tersebut. Data volumetrik yang mereka peroleh hanya dapat
menghitung secara kasar volume organisasi otak. Namun dari data yang mereka
peroleh selama bertahun-tahun inilah yang dapat membantu menyibak tabir evolusi
utamanya evolusi otak (Oxnard, 2004).
Walaupun bukti fosil
menyimpulkan bahwa otak manusia bukan saja tiga kali lebih besar dari pada kera besar (apes). Volume
bukanlah satu-satunya tanda yang dapat diandalkan untuk menilai kapasitas
mental dan perilaku (Karwur & Ranimpi, 2010). Hal yang terpenting bukanlah
besar secara keseluruhan namun perbandingan bagian-bagian didalamnya serta
perbandingannya terhadap massa total tubuh. Karena jika hanya berpatokan pada
besar volume otak maka otak manusia jauh lebih kecil dibandingkan dengan otak
paus, tapi pada kenyataannya manusia jauh lebih berkembang dalam hal pemikiran
dengan menggunakan otaknya dibandingkan dengan ikan paus. Diantara ordo Primata,
manusia (H. sapiens) adalah spesies
yang paling encephalized, memiliki
rasio perbandingan massa otak terhadap massa tubuh besar. Walaupun ukuran otak Primata
sangat bergantung pada ukuran tubuhnya, otak manusia lebih besar tiga kali
lipat dan memiliki neokorteks yang 3,4 kali lipat lebih banyak dibandingkan
primata antropid dengan ukuran tubuh manusia (Neubauer & Hublin, 2012).
Selama evolusi otak,
korteks serebral mengalami banyak perubahan. Khususnya pada mamalia perilaku
yang canggih dan rumit dikaitkan dengan ukuran relative korteks serebral dan
adaya pelekukan yang meningkatkan luas permukaan. Primata dan Cetacean (paus
dan lumba-lumba) juga memiliki korteks serebral yang luar biasa kompleks dan
besar. Namun pada kenyataannya korteks serebral paus berada di urutan kedua,
masih belum dapat mengalahkan manusia dalam hal luas permukaannya (perbandingan
relatif dengan ukuran tubuh) (Campbell et
al., 2004).
Hubungan perbandingan
antara ukuran otak dan ukuran tubuh sangat penting untuk dipelajari utamanya
pada mamalia (Gambar 1). Ukuran otak dari yang terkecil pada kelelawar sampai
yang terbesar menunjukkan hubungan garis lurus terhadap ukuran tubuh (Oxnard,
2004).
Gambar 1. Hubungan antara ukuran otak dengan
ukuran massa tubuh mamalia (Oxnard, 2004)
Dalam evolusi lebih
lanjut, otak semakin membesar, relatif lebih cepat terhadap ukuran tubuh.
Pembesaran ini disertai terjadinya pemisahan di antara daerah yang telah ada
disertai perubahan-perubahan fungsional, sehingga pada mamalia menyebabkan adanya
hubungan yang sangat kuat antara volume otak dengan jumlah daerah-daerah
pembeda di daerah korteks (Chagizi & Shimojo, 2005).
Pembahasan mengenai
evolusi otak manusia secara struktural berasal dari terbentuknya tabung saraf (neural
tube) dengan ujung kepala yang memiliki reseptor-reseptor penginderaan (sense
receptors) dan bebas berkembang. Otak berawal dari membesarnya daerah ujung
dari tabung saraf ini, yang pada fase berikutnya berkembang menjadi tiga
bagian: otak depan (forebrain), tengah (midbrain), dan belakang (hindbrain).
Masing-masing bagian ini terkait dengan penginderaan tertentu. Bagian depan
untuk mencium, bagian tengah untuk melihat, dan bagian belakang untuk
kesetimbangan dan vibrasi. Dari bangunan dasar inilah semua otak vertebrata
dibangun. Selanjutnya terjadi peningkatan ukuran dan
jumlah saraf. Bagian depan menjadi serebrum, yang terdiri atas daerah yang
menjorok ke depan (telencephalon) dan daerah belakang (thalamencephalon);
otak bagian tengah berkembang menjadi optic tectum; dan otak bagian belakang
menjadi serebelum (Rose, 2006; Karwur & Ranimpi, 2010).
Pada mamalia, termasuk
primata dan manusia, telencephalon berkembang sangat luar biasa dan
berlipat-lipat menjadi ruang serebral (cerebral hemispheres), dan
korteksnya terdiri dari sejumlah lapisan sel neuron. Ekspansi terbesar terjadi
di daerah neokorteks, terutama ekspansi luas areal. Pembesaran ini menekan
pertumbuhan daerah-daerah korteks lama ke bagian dalam dari struktur otak,
membengkok dan menjadi hipokampus (hippocampus). Daerah ini pada manusia
memainkan peran sentral dalam ingatan spasial, belajar dan emosi. Pada spesies Homo,
ada ciri khas dalam evolusi neokorteks bahwa terjadi pelebaran luas neokorteks
dan diferensiasi fungsi. Terjadinya peningkatan neokorteks inilah yang membuat
manusia mampu melakukan operasi-operasi kognitif lebih efisien dari pada
spesies lain: kapasitas pengingatan yang besar, belajar lebih cepat, kegiatan
perseptual lebih cepat, melakukan penyimpulan atas dasar pertimbangan yang
menyeluruh dan cermat, dan mampu melakukan perencanaan jangka panjang (Karwur &
Ranimpi, 2010).
Hasil dari evolusi
otak menjadikan manusia masa kini memiliki volume otak yang besar dibandingkan
primata lainnya dan memberikan keuntungan biologis bagi manusia. Perkembangan
otak inilah yang menyebabkan terjadinya perkembangan mental. Studi komparatif
perkembangan ontogenis ketrampilan kognitif anak-anak dan simpanse menunjukkan
bahwa manusia memiliki banyak ketrampilan kognitif yang tidak dimiliki primata
terdekatnya. Temuan Piaget dan Inhelder (1969) dalam studi perkembangan
struktural otak menunjukkan bahwa peningkatan volume gray matter pada
keseluruhan bangunan otak terutama di daerah korteks frontal yang bertanggung-jawab
dalam aktivitas kognitif (Gogtay et al., 2003; Toga & Thompson,
2005).
C. Pengaruh Evolusi
Otak terhadap Evolusi Budaya
Charles Darwin dalam bukunya yang berjudul ‘Decent of Man’ berpandangan bahwa
manusia adalah subyek bagi proses evolusi, sama seperti binatang-binatang lain.
Walaupun manusia modern berasal dari nenek moyang yang sama dengan simpanse (Pan troglydytes) tetapi terjadi
pemisahan selama 5-7 juta tahun yang lalu yang menyebabkan kapasistas mental
mereka menjadi berbeda sama sekali. Perkembangan pesat otak manusia yang
terjadi selama evolusi otak menjadikan manusia berbeda dengan spesies lainnya.
Fungsi dan struktur otak manusia memampukannya bertingkah laku tidak persis
dengan spesies lain. Kompleksitas otak inilah yang mendasari keyakinan bahwa
manusia mengalami evolusi yang serupa tapi tak sama dengan spesies lain yang
menyebabkan hanya pada manusia evolusi budaya dapat ditemui. Sehingga hanya
manusia yang dikenal sebagai makhluk berbudaya (Amirin, 2002; Karwur &
Ranimpi, 2010; Wijayanto, 2013).
Menurut Dawkins (1976) manusia menjadi unik karena
budaya, dalam kehidupan manusia terdapat evolusi budaya dan replikatornya
adalah meme. Teori meme menjelaskan bahwa meme berkembang dengan cara seleksi
alam (mirip dengan prinsip evolusi biologi yang dijelaskan oleh penganut
Darwinian) melalui proses variasi, mutasi, kompetisi, dan warisan budaya.
Setiap perilaku yang lewat dari satu orang ke orang lain melalui proses imitasi
adalah meme. Ini termasuk seluruh bahasa, praktik-praktik sosial, dan seluruh
kebiasaan personal (Karwur & Ranimpi, 2010; Wijayanto, 2013).
Mithen (2007) menjelaskan bahwa antara evolusi otak
dan budaya saling berhubungan satu sama lain, data yang diperoleh berasal dari
fosil dan catatan arkeologis menunjukkan adanya hubungan signifikan diantara
keduanya. Contohnya pada dua spesies Homo
awal yang dikarakterisasi memiliki volume otak hingga 650 cc relatif lebih
besar dibandingkan volume otak simpanse masa kini. Pembesaran volume otak ini
diikuti dengan pengecilan bentuk gigi dan bentuk muka yang semakin flat (rata) mengindikasikan terjadinya
peningkatan kemampuan berbahasa yang mana salah satu unsur budaya adalah
bahasa. Selama transisi evolusi, H.
ergaster yang ditemukan telah menunjukkan ciri bipedal/bipedalisme dengan
volume otak mencapi 900 cc. Bipedalisme ini membutuhkan volume otak yang lebih
besar dan sistem saraf kompleks yang lebih banyak untuk mendukung kontrol
sensorik dan motorik. Ciri bipedal ini mengindikasikan ektremitas atas yang
terbebas -terpisah dari ektremitas bawah- sehingga berfungsi sebagai lengan
yang membantu mereka dalam menciptakan alat-alat baik sederhana hingga
kompleks. Hal ini dibuktikan pada H. erectus yang ditemukan di pulau
Flores telah dapat membuat rakit untuk menyebrangi sungai. Di wilayah Eropa
sendiri, penemuan batu artefak menjukkan perkembangan budaya pada H. antecessor (Oldowan flakes), H.
heidelbergensis (Kapak tangan Acheulian), dan H. neanderthalensis (teknologi Levallois) (Aiello, 1996; Morwood et al., 1998; Gabunia et al., 2000; Mithen, 2007).
Sejalan dengan pembahasan sebelumnya, ciri
bipidalisme H. ergaster sangat
dipengaruhi evolusi otak. Volume otak membesar dan menyebabkan perubahan sumbu
dan posisi otak terhadap tulang belakang. Hal ini juga yang mendorong
terjadinya bipedalisme modern. Perubahan bipedal dari quadropedal menybabkan
panggul menerima beban lebih berat. Membesarnya volume otak menyebabkan foramen magnum yang menghubungkan antara
tulang belakang dan occipital menjadi
satu garis lurus yang menyebabkan perwakan tubuh manusia menjadi semakin tegap.
Tegaknya badan akan mengubah bentuk tulang belakang yang semula hanya mempunyai
satu lekung menjadi dua lekung, menyebabkan kapasitas rongga dada dan rongga
perut menjadi lebih luas. Semua ini memungkinkan hominid bipedal berkembang
dengan tidak hanya menjadi terampil berjalan dengan dua kaki, tetapi juga dapat
berlari yang diperlukan untuk mengejar mangsa (Aiello, 1996; Suriyanto, 2004).
Leakey (2003) berpendapat bahwa bipedal memberikan keunggulan yang penting
untuk bertahan hidup dalam menghadapi keadaan yang berubah-ubah.
Selain itu, bipidalisme juga berdampak pada saluran
vokal karena terbentuknya ruang di antara tulang belakang dan rongga mulut di pangkal
tenggorokan sebagai akibat dari pemasukan tulang belakang di foramen magnum, yang disebut laryngeus inferius. Dampak pada saluran
vokal ini menyebabkan keragaman vokal yang dapat disebutkan, sehingga manusia
dapat berbahasa karena dapat mengenali ragam vokal yang lebih luas (Aiello, 1996).
Semakin meluasnya ragam vokal
berdampak pada sistem bahasa. Bahasa adalah sistem yang kompleks dalam
komunikasi dan merupakan salah satu dari unsur budaya. Banyak orang percaya
bahwa antara Australopitechus dan Homo (manusia modern) telah mengalami
perkembangan sistem komunikasi dalam hubungannya dengan bahasa. Pada zaman
purba dikenal bahasa purba (proto language)
dengan jumlah kata yang sedikit. Sehingga perkembangan bahasa ini juga tidak
lepas dari evolusi otak. Perkembangan volume otak menyebabkan dampak pada
saluran vokal sehingga kata yang diucapkan dapat lebih banyak jumlahnya akibat
ragam vokal yang lebih luas. Selain itu akibat evolusi otak menyebabkan
berkembangnya pusat bicara pada otak. Akibatnya terjadi perkembangan bahasa ke
bahasa yang lebih kompleks (Mithen, 2007).
Proses budaya itu sendiri sangat
dipengaruhi oleh bahasa karena merupakan sarana untuk menyalurkan informasi
(Boer, 2015). Berkembangnya bahasa menyebabkan interaksi antar sesamanya juga
semakin meningkat. Seiring peerkembangan waktu mulai terbentuk
kelompok-kelompok sosial. Kelompok sosial yang semula berdasarkan kebutuhan
untuk berkembang biak dan nepotisme menjadi semakin kompleks. Dengan demikian,
akan terbentuk kebudayaan yang lebih luas (Suriyanto, 2004).
Otak yang berkembang membuat manusia
mampu memanfaatkan lingkungannya. Manusia telah memanfaatkan lingkungan sejak
masa lampau, baik dengan cara mengolah, membudidayakan, memelihara maupun
merusak demi sintasnya mereka. Akibat dari aktivitas manusia menimbulkan corak dan
bentuk bagi lingkungan yang mana tercermin dalam bukti-bukti arkeologi yang
diperoleh dalam bentuk wujud artefak, ekofak dan fitur. Melalui bukti-bukti
inilah dapat memperlihatkan kehidupan manusia di masa lampau yang dapat
digunakan untuk melihat bukti kebudayaan manusia yang membantu dalam
merekonstruksi evolusi budaya serta melihat hubungan evolusi budaya dengan
evolusi otak (Suriyanto, 2004).
Artefak batu telah
dapat ditemukan pada masa Pleistosen. Pada masa ini volume otak hominid telah
mengalami peningkatan yang pesat dan menunjukkan bahwa mereka telah beradaptasi
terhadap lingkungan sekitar dengan membuat peralatan dari batu, berburu dan
membentuk kelompok sosial (Gambar 2) (Mithen, 2007).
Gambar 2. Perkembangan otak hominid masa
pleistosen dan perlatan batu yang menunjukkan kebudayaan pada masa tersebut
(Hijazo, 2015)
Penemuan artefak Sangiran flake industry pada
3.8 meter di bawah lempung hitam Pucangan yang dilaporkan oleh Harry Widianto
pada tahun 2006 menunjukkan H. erectus arkaik (fosil tertua Sangiran)
yang hidup 1.2–1.6 juta tahun lalu telah mampu membuat teknologi batu (Widianto
& Simanjuntak, 2009). Mereka telah mampu membuat kapak-kapak genggam yang
selain sesuai tuntutan fungsional (misalnya tajam) juga sudah mengandung unsur
anekaragam dan keindahan (prinsip simetri, lonjong, meruncing pada salah satu
bagian). Pada H. erectus dapat juga terlihat kemampuan dalam berburu
yang membutuhkan teknologi, kerjasama kelompok, dan pemahaman bersama (shared
understanding) (Karwur & Ranimpi, 2010).
Pada masa Holosen,
semakin berkembangnya volume otak, semakin kompleks pula keterampilan dan
pengetahuan manusia purba. Salah satu contohnya pada penemuan beberapa gambar
di gua pra-historis ‘Sumpang bita’, Sulawesi
Selatan yang berupa gambar tangan dan hewan. Penemuan ini menunjukkan bahwa
manusia purba yang hidup pada zaman tersebut telah mampu melukiskan apa yang
mereka lihat dan mulai menetap di suatu tempat, salah satunya di dalam gua
(Muliyadi, 2016).
PENUTUP
Simpulan
Dalam kajian menelusuri evolusi otak
manusia diketahui bahwa otak manusia mengalami perkembangan tiga kali lipat
dibandingkan manusia purba. Selama proses evolusi, otak manusia mengalami
pembesaran relatif lebih cepat terhadap ukuran tubuh yang menyebabkan pemisahan
daerah yang telah ada disertai perubahan-perubahan fungsional. Peningkatan ini
yang menyebabkan manusia mampu meningkatkan kapasitas pengingatan dan proses
belajar.
Evolusi otak juga mempengaruhi bentuk tubuh dan
saluran vokal. Terjadinya perubahan sumbu tubuh dan posisi otak terhadap tulang
belakang, mendorong terjadinya
bipedalisme modern. Bipidalisme ini berdampak pada terbebasnya lengan atas pada
manusia sehingga dapat menciptakan alat-alat baik sederhana hingga kompleks.
Perubahan pada saluran vokal menyebabkan meluasnya ragam vokal sehingga terjadi
perkembangan dari bahasa yang primitif ke bahasa yang lebih kompleks.
Perubahan-perubahan inilah yang mendorong berkembangnya budaya sehingga
menyebabkan terjadinya evolusi budaya.
Oleh karena itu dapat
disimpulkan bahwa dalam perkembangan evolusi otak manusia juga berdampak pada
berkembangnya evolusi budaya yang didukung oleh bukti-bukti berupa artefak maupun
temuan terkait peradaban manusia yang semakin berkembang dari masa ke masa.
DAFTAR PUSTAKA
Aiello, L.C. 1996.
Terrestriality, bipedalism and the origin of language. In: Runciman W.G., J.
Maynard‐Smith, and R.I.M. Dunabr (Eds.). Evolution of Social Behaviour Patterns in
Primates and Man. Oxford University Press, Oxford. pp.269–290
Amirin,
T.M. 2002. Landasan Filosofif Pendidikan Berwawasan Kecakapan Hidup (Life
Skills). Dinamika Pendidikan.
9(1):57-68
Bailey, D.H. and D.C. Geary.
2009. Hominid Brain Evolution: Testing Climatic, Ecological and Social
Competition Models. Hum. Nat.
20:67-79.
Boer, B. 2015. Biology, Culture,
Evolution and the Cognitive Nature of Sound System. Journal of Phonetics. 53:79-87.
Campbell, N.A., J.B. Reece and
L.G. Mitchell. 2004. Sistem Saraf. Biologi
Edisi Kelima Jilid III. Penerbit Erlangga. Jakarta. pp.223-224.
Campbell, N.A., J.B. Reece, L.A.
Urry, M.L. Cain, S.A. Wasserman, P.V. Minorsky, and R.B. Jackson. 2008. Penurunan
dengan Modifikasi: Pandangan Darwin tentang Kehidupan. Biologi Edisi Kedelapan Jilid 2. Penerbit Erlangga. Jakarta. pp.4-7.
Chagizi, M.A. and S. Shimojo. 2005. Parcellation and Area-Area
Connectivity as a Function of Neocortex Size. Brain Behav. Evol.
66:88-98.
Dart, R. A. 1925.
Australopithecus africanus: The Man-Ape of South Africa. Nature. 115:195–199.
Dawkins, R. 1976. The Selfish
Gene. Oxford University Pres. New York. p.13-15.
Falk, D. 1986. Endocranial Casts
and Their Significance for Primate Brain Evolution. In D. R. Swindler & J.
Erwin (Eds.) Comparative Primate Biology Vol.
1. Alan R. Liss. New York. pp.477–490.
Gabunia, L., A. Vekua, D.
Lordkipanidze, C.C. Swisher III, R. Ferring, A. Justus, M. Nioradze, M.
Tvalchrelidze, S.C. Anto´n, G. Bosinski, O. Jo¨ris, M-A de Lumley, G.
Majsuardze, & A. Mouskhelishvlli. 2000. Earliest Pleistocene Hominid
Cranial Remains from Dmanisi, Republic of Georgia: Taxonomy, Geological Setting
and Age. Science 288: 1019–1025
Gogtay, N., L. Lusk, K.M. Hayashi, J.N. Giedd, and D. Greenstein. 2004.
Dynamic Mapping of Human Cortical Development during Childhood and Adolescence.
Proc. Natl. Acad. Sci. USA 101:8174-8179.
Gunz, P., S. Neubauer, B. Maureille,
and J.J. Hublin. 2010. Brain Development After Birth Differs Between
Neanderthals and Modern Humans. Current
Biology. 20:R921–R922.
Hijazo, R.
2015. Arbol Genealogico Hominidos. https://id.pinterest.com/pin/
435441857695879475/.
Accesed: 21 October 2016.
Holloway, R. L., D.C. Broadfield,
and M.S. Yuan. 2004. The Human Fossil Record: Brain Endocasts. The Paleoneurological Evidence. John
Wiley & Sons. New York. pp.1-26.
Holloway, R.L. 1979. Brain size,
Allometry, and Reorganization: Towards a Synthesis. In Hahn, M. E., Jensen, C.,
and Dudek, B. C. (eds.), Development and Evolution of Brain Size: Behavioral
Implications. Academic Press. New York. pp.59–88.
Karwur, F.F. and Y.Y.
Ranimpi. 2010. Evolusi Otak dan Kemampuan Mental Manusia. Cakrawala Pemikiran Evolusi Dewasa Ini. Universitas Kristen Satya
Wacana. Yogyakarta. pp.74-111.
Leakey, R. 2003. Asal
Usul Manusia. Gramedia. Jakarta.
Mithen,
S. 2007. The Network of Brain, Body, Language and Culture. Handbook of Paleoanthropology. Springer Berlin Heidelberg. New
York. pp.1965-1999.
Morwood, M.J., P.B. O’Sullivan,
F. Aziz, and A. Raza. 1998. Fission‐track ages of stone tools and
fossils on the east Indonesian island of Flores. Nature 392: 173–176.
Muliyadi, Y. 2016. Prehistoric
Rock Art Painting in Bontocani South Sulawesi Indonesia. Presented in The 2nd SEAMEO SPAFA
International Conference on Southeast Asian Archaelogy, SPAFA, Bangkok, 30
May-2 June 2016.
Neubauer,
S. and J.J. Hublin. 2012. The Evolution of Human Brain Development. Evolutionary Biology. 39:568-586.
Oxnard,
C.E. 2004. Brain Evolution: Mammals, Primates, Chimpanzees, and Humans. International Journal of Primatology. 25
(5): 1127-1158.
Piaget, J. and B.
Inhelder. 1969. The Psychology of the
Child (Translated from French by Helen Weaver). Routledge
and Keagen Paul. London. p.173.
Richerson, P.J. and
R. Boyd. 2005. Not by Genes Alone: How
Culture Transformed Human Evolution. University of Chicago Press. Chicago.
Rose, S. 2006. The
Future of the Brain. Oxford University Press. New York. p.344
Sacher, G.A. 1970. Allometric and
Factorial Analysis of Brain Structure in Insectivores and Primates. In: Noback,
C.R., and W. Montagna (eds.). The Primate Brain: Advances in Primatology-Volume
1. Appleton-Century-Crofts, Educational Division, Meredith Corporation. New
York. pp.245–287.
Stephan, H. and O.J. Andy. 1969.
Quantitative Comparative Neuroanatomy of Primates: An Attempt at a Phylogenetic
Interpretation. Ann. N. Y. Acad. Sci. 167: 370–387.
Suriyanto, R.R. 2004. Etnografi
untuk Arkeologi: Suatu Upaya Membangun Model Penelitian Cara Pemenuhan Diet
Prasejarah (Paleonutrisi). Humaniora.
16(2):177-188.
Tempo. 2013. Otak Cerdas Manusia Dibentuk dari Evolusi. http://m.tempo.co/read/news/.
Accesed: 20 October
2016.
Toga, A.W. and P.M.
Thompson. 2005. Genetics of Brain Structure and Intelligence. Annu. Rev.
Neurosci. 28:1-23.
Widianto, H. and T.
Simanjuntak. 2009. Sangiran Menjawab Dunia. Balai Pelestarian Situs Manusia
Purba Sangiran. p.142.
Wijayanto, E. 2013. Memetika
Sebagai Studi Kebudayaan Berbasis Evolusi. Melintas.
29(1):42-55