Dalam mengatur tetang
konservasi perairan di Indonesia utamanya menyangkut terumbu karang tidak cukup
hanya dengan peraturan dalam skala internasional dan nasional saja. Hal ini
disebabkan negara Indonesia sangat luas dan mengingat keadaan geografis negara
Indonesia yang berupa kepulauan menyebabkan pemerintahan pusat sulit mengkoordinasi
pemerintahan daerah sehingga diperlukan adanya peraturan daerah. Peraturan
daerah ini muncul akibat adanya otonomi daerah. Otonomi daerah membuat tiap
daerah berhak dan mempunyai wewenang dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahnya dan kepentingan masyarakat setempat melalui penetapan peraturan
daerah.
Beberapa peraturan daerah mengenai pengelolaan terumbu karang yang tercantum dalam seri kebijakan dan pengembangan konservasi perairan diantaranya (Kementrian Kelautan dan Perikanan a, 2011) :
o Peraturan daerah Kabupaten Selayar Nomor 16 Tahun 2003
Tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Laut Dan Pesisir Dalam Wilayah Kabupaten
Selayar
o Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Nomor 10
Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Laut Provinsi Sulawesi
Tenggara
o Peraturan
Daerah Kabupaten Natuna Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Terumbu Karang
o Peraturan
Daerah Kabupateim Buton Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Sumber Daya
Pesisir
o Peraturan
Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan
Terumbu Karang
o Peraturan
Gubernur Sulawesi Selatan Nomor: 45 Tahun 2007 Tentang Pemanfaatan Terumbu
Karang Berbasis Masyarakat
o Peraturan
Daerah Kabupaten Bintan Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Terumbu Karang
o Pemerintah
Kota Batam Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 7 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan
Terumbu Karang
o Peraturan
Daerah Kabupaten Sikka Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Terumbu Karang
Dan Ekosistemnya
o Peraturan
Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan
Terumbu Karang
o Peraturan
Daerah Kabupaten Raja Ampat Nomor 27 Tahun 2008 Tentang Kawasan Konservasi Laut
Daerah Kabupaten Raja Ampat
o Peraturan
Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Terumbu
Karang
o Peraturan
Gubernur Sulawesi Tenggara Nomor 60 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Terumbu
Karang
o Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten Lingga Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Terumbu Karang
o Peraturan
Daerah Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan Nomor 4 Tahun 2010 Tentang
Pengelolaan Terumbu Karang
o Peraturan
Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan
Terumbu Karang
o Peraturan
Bupati Pangkajene Dan Kepulauan Nomor : 32 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan
Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan
o Peraturan
Gubernur Nusa Tenggara Timur Nomor 38 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Ekosistem
Terumbu Karang Di Provinsi Nusa Tenggara Timur
o Peraturan
Bupati Buton Nomor 3 Tahun 2012 Tentang Pemanfaatan Terumbu Karang Berbasis
Masyarakat
Selain
PERDA yang tercantum di atas masih terdapat banyak PERDA yang mengatur tentang
pengelolaan terumbu karang yaitu :
o Peraturan
Derah Provinsi Kabupaten Riau Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Terumbu
Karang (KEPRIPROV, 2010)
o Peraturan
Daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Terumbu Karang di Kalimantan Selatan (BPK, 2012)
Dapat
dilihat sebagian besar PERDA tentang pengelolaan terumbu karang berasal dari
wilayah pesisir sehingga selain pengelolaan terumbu karang PERDA yang dibentuk
juga mewakili dalam pengelolaan sumber daya alam laut dan pesisir (contohnya pada PERDA
kabupaten Selayar Nomor 16 Tahun 2003 dan PERDA Provinsi Sulawesi Tenggara
Nomor 10 Tahun 2005) yang salah satu konsern nya mengenai pengelolaan terumbu
karang. Bahkan beberapa daerah memiliki PERDA yang mengatur tentang pengelolaan
sumber daya pesisir dan pengelolaan terumbu karang, contohnya pada kabupaten Selayar). Pembentukan
PERDA ini dinilai penting bagi masyarakat di wilayah pesisir disebabkan
sebagian besar mata pencaharian masyarakat pesisir adalah nelayan yang mana
sangat bergantung kepada hasil laut. Hasil laut sangat dipengaruhi oleh
keberadaan terumbu karang yang menjad habitat bagi para ikan, sehingga jika
tidak dilakukan regulasi yang tepat dalam pengelolaannya hal ini akan berdampak
langsung terhadap kehidupan dan perekonomian masyarakat sekitar yang dalam
skala besar dapat mempengaruhi pada tingkatan nasional dan internasional.
PERDA tersebut dibentuk mengacu pada beberapa
Undang-Undang diantaranya (Kementrian Kelautan dan Perikanan a, 2011) :
o
Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2009 tentang Perikanan
o
Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(Telah dirubah menjadi UU No. 1 Tahun 2004 )
Keseluruhan
Undang-undang diatas mengatur tentang pengelolaan wilayah perairan dan pesisir
utamanya yang berhubungan dengan pelestarian lingkungan melalui konservasi
sumber daya alam. Pada umumnya dalam melakukan konservasi laut utamanya dalam
melindungi biota laut serta karang sebagaimana tercatat dalam PERDA tiap daerah
dilakukan dengan sistem zonasi. Sistem zonasi membagi beberapa daerah melalui
kebermanfaatannya dan hubungannya denga konservasi, diantaranya system zonasi
membagi ke dalam zona Inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan
dan zona lainnya.
Zona Inti atau dikenal juga sebagai zona konservasi adalah
daerah yang diperuntukan untuk perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan
serta alur migrasi biota laut, perlindungan ekosistim pesisir yang unik atau
rentan terhadap perubahan, perlindungan situs budaya /adat tradisional, penelitian
dan atau pendidikan sehingga zona inti merupakan bagian terpenting dari KKLD
(Kawasan Konservasi Laut Daerah). Zona perikanan berkelanjutan digunakan untuk
kegiatan budidaya laut, penangkapan dengan alat tangkap ramah lingkungan
seperti long line, gill net. Zona pemanfaatan digunakan
untuk perlindungan habitat dan populasi ikan, pariwisata dan rekreasi, penelitian
dan atau pendidikan. Zona Lainnya merupakan Zona di luar zona inti dan Zona
pemanfaatan yang fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai daerah penangkapan
ikan tradisional dan kegiatan lainnya yang mendukung Perikanan berkelanjutan (Kementrian Kelautan dan Perikanan
a, 2011).
Pembagian zona berdasarkan zonasi merupakan bentuk
rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional
sesuai dengan potensi sumberdaya dan daya dukung serta proses-proses ekologis
yarig berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir sehingga menetapkan kisi-kisi tata ruang di dalam zona yang memuat kegiatan
yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat
dilakukan setelah memperoleh izin (Kementrian Kelautan
dan Perikanan
a, 2011). Diantara pembagian
zonasi tersebut, zona konservasi merupakan bagian yang sangat vital dalam
rangka melindungi biota laut termasuk terumbu karang. Zona konservasi hanya
dapat digunakan untuk kegiatan cagar alam laut, taman wisata laut, kawasan
lindung dan daerah perlindungan laut. Menurut Westmacott et al. (2000) dalam rangka konservasi terumbu karang yang memutih
dan rusak kritis salah satunya dengan membentuk Daerah Perlindungan Laut (DPL).
DPL adalah daerah yang ditutup secara permanen dari
kegiatan perikanan dan pengambilan biota laut yang dikelola oleh masyarakat
setempat sehingga daerah ini terbebas dari dampak manusia dan memegang
peranan yang semakin penting bagi pelestarian
dan pengelolaan terumbu karang.
Penyuluhan
dan pelaksanaan konservasi terumbu karang tingkat Daerah
Dalam rangka melakukan konservasi
terumbu karang ditingkat daerah maka perlu melibatkan peran serta pemerintah,
organisassi non pemerintah, perguruan tinggi dan masyarakat. Pemerintah Daerah dapat menetapkan bagian tertentu dari
wilayah pesisir sebagai kawasan konservasi dengan Peraturan Daerah. Contohnya
pada Kabupaten Bintan, dasar
hukum pengelolaan kawasan konservasinya adalah Peraturan Daerah (PERDA)
Kabupten Bintan No. 12 Tahun 2008 tentang pengelolaan terumbu karang, Peraturan
Bupati Bintan No. 13/II/2009 tentang Rencana Strategis (RENSTRA) pengelolaan
terumbu karang Kabupaten Bintan Tahun 2009-2014 dan SK Bupati No.
261/VIII/2007, dasar hukum ini yang digunakan dalam rangka pengelolaan dan
penetapan zonasi. Demikian halnya pada daerah Sabang dimana zonasi diatur dalam
Peraturan Walikota Sabang Nomor 7 Tahun 2013 tentang rencana pengelolaan dan
zonasi kawasan konservasi perairan pesisir timur Pulau Weh Kota Sabang. Di
kawasan Bintang dalam pelaksanaannya pemerintah membentuk Organisasi Unit
Pelaksana Teknis Daerah berdasarkan peraturan Bupati No. 7 Tahun 2009 sama
halnya dengan daerah Sabang berdasarkan
Keputusan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Sabang Nomor
523/80/2012 membentuk Badan Pengelola Kawasan Konservasi Daerah yang mana
keduanya merupakan organisasi dibawah pemerintah yang bertugas mengawasi dan
melaksanaan pengelolaan wilayah konservasi wilayah pesisir dan terumbu karang (Darmawan
et al., 2014).
Di
pihak pemerintah dalam rangka menyebarluaskan hasil keputusan berupa peraturan daerah
yang mengatur tentang pengelolaan sumber daya pesisir maka dilakukan penyuluhan
yang dapat melalui perintah itu sendiri atau Badan Pengelola Kawasan Konservasi Daerah serta
organisasi pemerintah lainnya. Salah
satunya pada daerah Sabang, penyuluhan terhadap pembagian zonasi dilakukan oleh
KKP (Kementrian Kelautan dan Perikanan) Kota Sabang bersama dengan badan
pengelola KKD (Gambar 2). Sedangkan di Kabupaten Bintan upaya pengelolaan kawasan telah dilakukan sejak
tahun 2007. Pada tahun 2007 awalnya dilakukan penyusunan zonasi, selanjutnya
tahun 2008 dilakukan pengelolaan terumbu karang dan MMA (Marine Management Area) untuk kawasan kec. Gunung kijang dan bintan
pesisir. Tahun 2009, rencana zonasi dan rencana pengelolaan wilayah kab.
Bintan, pemasangan tanda batas dan rambu-rambu laut untuk kawasan MMA di kec.
Tambelan dan kawasan pantai timur Bintan
(Darmawan et al., 2014). Di Kota Batam, pengelolaan KKD
diserahkan kepada Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) bersama dengan Lembaga Pengelola Sumberdaya terumbu karang (LPSTK) dan Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS)
(KKJI, 2014).
Selain itu dalam rangka implementasi
kebijakan pemerintah di tingkat nasional salah satunya melalui Program
Rehabilitasi dan Pengelolaan
Terumbu Karang Tahap
II (COREMAP II) juga berperanan di tingkat daerah utamanya di
daerah yang menjadi asuhan COREMAP. Yang mana melalui program COREMAP pada tiap
daerah asuhan terdapat staf lapangan yang berperan dalam membantu mengawasi,
memberi penyuluhan serta mengelola daerah konservasi (Kementrian
Kelautan dan Perikanan b, 2011).
Organisasi non
pemerintah dalam pelaksanaan peraturan daerah mengenai konservasi dan
pengelolaan terumbu karang berupa Lembaga Swadaya masyarakat yang berperan untuk meningkatkan kemandirian,
keberdayaan dan peran serta masyarakat lokal dalam pengelolaan pesisir dan laut
sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, menumbuhkembangkan kemampuan
dan kepelaporan masyarakat lokal dalam pengelolaan pesisir dan laut secara
berkelanjutan, menumbuhkan partisipasi masyarakat lokal untuk melakukan
pengawasan dan kontrol sosial terhadap pelaksanaan pengelolaan pesisir dan laut
serta memberikan saran, pendapat, masukan dan/atau laporan yang diperlukan.
Selain itu, Perguruan tinggi juga memegang peranan dalam membantu dan
mendampingi Pemerintah Daerah dalam mengembangkan pengelolaan pesisir dan laut
melalui pelatihan mengenai pengelolaan pesisir dan laut. Baik organisasi non
pemerintah maupun Perguruan Tinggi tidak dapat mempertanggung jawabkan secara
langsung konstribusi mereka kepada pemerintah daerah melainkan melalui Dewan
Pengelola Pesisir dan Laut dimana dewan ini yang bertugas memadukan, merekomendasikan,
memfasilitasi dan mengkoordinasikan pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Dewan
Pengelola Pesisir dan Laut dipilih karena berkedudukan sebagai lembaga ad-hoc
yang bertanggung jawab kepada Gubernur selain itu anggotanya telah meliputi
seluruh stakeholder yang berperan
dalam upaya konservasi wilayah pesisir dan pengelolaan terumbu karang
diantaranya Pemerintah, Perguruan Tinggi,Tokoh Masyarakat, Tokoh
Agama dan Tokoh Adat, Organisasi non Pemerintah, Himpunan Nelayan dan pemangku
kepentingan lainnya. Seluruh stakeholder
bekerja sama melakukan koordinasi meliputi aspek
perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, pengawasan dan penegakan hukum. Selain itu, Pemerintah
Kabupaten juga dapat melakukan kerjasama dengan pemerintah kabupaten/kota
lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan terumbu karang. (Kementrian Kelautan dan Perikanan a, 2011).
Kontrol
Regulasi
Pengendalian
terhadap pelaksanaan ketentuan-ketentuan Peraturan Daerah ini dilakukan melalui
penertiban dan penegakan hukum. Penertiban dilakukan terhadap para pelaku
kegiatan/usaha tanpa izin dan/atau pelaku kegiatan/usaha yang tidak memenuhi
kewajiban sebagaimana yang diisyaratkan dalam perizinannya dan penegakan hukum
dilakukan oleh instansi yang berwenang melalui pengenaan sanksi administrative.
Penegakan hukum dilakukan oleh pihak pemerintah melalui pejabat pegawai negeri
sipil dengan melakukan peringatan, denda, penghentian sementara kegiatan usaha,
penyitaan Jaminan Lingkungan dan penyabutan izin usaha kepada para pelanggar
ketentuan yang berlaku, besaran sanksi sesuai dengan besanya pelanggaran yang
dilakukan. (Kementrian
Kelautan dan Perikanan a, 2011).
Pada umumnya kontrol regulasi di
tingkat nasional dan daerah hampir sama, perbedaannya di tingkatan daerah lebih
spesifik lagi kearah masyarakat adat terdapat beberapa kearifan lokal yang
secara langsung mendukung dalam pelaksanaan konservasi. Sehingga baik didalam
tiap PERDA juga dibahas peranan serta masyarakat adat dalam mengelola terumbu
karang dan wilayah pesisir. Salah satu contohnya pada kawasan Simeule di
wilayah Aceh, memiliki aspek budaya /adat yang
sangat kuat dalam pengelolaan wilayah laut sehingga pelibatan masyarakat cukup
aktif. Lembaga adat setenpat bahkan telah menetapkan Hari Pantang Melaut di
wilayah PiSiSi (Kawasan Konservasi Perairan Pinang, Siumat dan Simanaha) yang
berisi Pantangan kegiatan melaut pada hari-hari besar dan hari
Jum’at, seperti (Darmawan et al., 2014) :
1. Khanduri Adat Laot (Khanduri Naey/Khanduri
Ikan). Khanduri laot dilaksanakan 1 (satu) tahun sekali, selambat-lambatnya 3
(tiga) tahun sekali atau tergantung kesepakatan dan kesanggupan nelayan
setempat, dinyatakan 3 (tiga) hari pantang melaot pada acara khanduri laot
dihitung sejak keluar matahari pada hari khanduri hingga tenggelamnya matahari
pada hari ketiga.
2. Hari Jumat dilarang melakukan
aktivitas penangkapan ikan, terhitung dari jam 18.00 WIB hari Kamis sampai dengan
jam 15.00 WIB pada hari Jumat.
3. Hari Raya Idul Fitri. Pada Hari Raya
Idul Fitri dilarang melaut selama batas waktu 3 hari penuh (mulai dari hari
pertama hari raya sampai hari ke 3 hari raya).
4. Hari Raya Idul Adha, dilarang melaut
selama 4 hari penuh (mulai dari hari pertama hari raya sampai hari ke 4 hari
raya).
5. Hari Kemerdekaan Tanggal 17 Agustus dilarang
melakukan aktivitas penangkapan ikan, terhitung dari jam 06.00 WIB sampai dengan
jam 18.00 WIB tanggal 17 Agustus.
Masih di Aceh, tepatnya di Kota Sabang juga memiliki
lembaga masyarakat nelayan yang dibentuk berdasarkan masyarakat Adat di sebut
Panglima Laot. Panglima
Laot merupakan lembaga adat masyarakat nelayan yang terdapat di daerah pesisir
Aceh yang diberikan kepada seorang tokoh atau orang yang dipercaya sebagai
pemimpin dalam satu kelompok masyarakat nelayan wilayah pesisir yang dikenal dengan
istilah Lhok. Pesisir Timur Pulau Weh terdiri dari 2 (dua) Lhok yaitu Panglima
Laot Lhok Ie Meulee dan Panglima Laot
Anoe Itam. Fungsi Panglima Laot
secara umum meliputi tiga hal penting yaitu menjaga keamanan di wilayah laut, mengatur
pengelolaan sumberdaya laut dan mengatur pengelolaan lingkungan laut. Dalam
menjalankan fungsifungsinya, Panglima Laot pada umumnya memiliki tiga kewenangan
antara lain mengembangkan dan menegakkan adat laut, mengatur pemanfaatan
sumberdaya kelautan, dan mengatur peradilan adat laut. Salah satu bentuk
mengatur pemanfaatan sumberdaya laut, Panglima Laot Ie meulee dan Anoe Itam
menerapkan aturan penggunaan alat tangkap. Di kedua wilayah tersebut tidak
diperkenankan untuk menggunakan alat tangkap berbagai bentuk jaring dan alat bantu
kompresor. Sedangkan alat tangkap tangkap yang perbolehkan beroperasi di
wilayah pesisir timur adalah pancing, tonda dan jala (Darmawan et al., 2014). Sehingga selain dari
pihak pemerintah yang melakukan pengawasan juga terdapat kesadaran dari dalam
masyarakat sendiri dalam melakukan pengawasan.
Dari daerah Aceh bergeser ke daerah barat, di Sulawesi
khususnya daerah Gorontalo terdapat suku Bajo. Suku Bajo memiliki kearifan
lokal yang merupakan implikasi dari nilai-nilai kecerdasan
ekologis masyarakat sekitar dalam menjaga ekosistem perairan. Salah satunya
adalah Tradisi mamia kadialo berupa
pengelompokan orang ketika ikut melaut dalam jangka waktu tertentu serta
sarana/perahu yang digunakan. Ada 3 kelompok tradisi ini yaitu; palilibu,
bapongka, dan sasakai. Palilibu, adalah kebiasaan melaut yang
menggunakan perahu jenis soppe yang digerakkan dengan dayung, kegiatan
melaut ini hanya dalam satu atau dua hari kemudian kembali ke permukiman untuk
menjual hasil tangkapan dan sebagian dinikmati bersama keluarga. Bapongka atau
disebut juga Babangi adalah kegiatan melaut selama beberapa minggu
bahkan bulanan dengan menggunakan perahu besar berukuran kurang lebih 4 x 2 m
yang disebut Leppa atau Sopek, sering mengikutsertakan keluarga
(istri dan anak-anak) bahkan ada yang hingga melahirkan anak di atas perahu,
dan yang penting ditatati selama bapongka adalah pantangannya. Sasakai, yaitu
kebiasaan melaut menggunakan beberapa perahu untuk melaut selama beberapa bulan
dengan wilayah jelajah antar pulau (Utina, 2012).
Selama kelompok
menjalani mamia kadialo (melaut) ada
pantangan yang boleh dilakukan baik oleh keluarga yang ditinggal maupun mereka
yang sedang melaut. Pantangan itu antara lain dilarang membuang ke perairan
laut seperti; air cucian teripang, arang kayu atau abu dapur, puntung dan abu
rokok, air cabe, jahe dan air perasan jeruk, dan juga larangan mencuci alat
memasak (wajan) di perairan laut. Air cucian maupun bahan-bahan tersebut
hendaknya ditampung kemudian dibuang di daratan. Ada pula pantangan memakan
daging penyu, jika ini dilanggar maka dapat mendatangkan malapetaka, bencana
badai, gangguan roh jahat bahkan mereka yang pergi melaut tidak mendapatkan
hasil apa-apa. Masyarakat Bajo (generasi lanjut usia) juga masih mempercayai
gugusan karang tertentu sebagai tempat bersemayam arwah para leluhur. Orangtua
melarang anggota keluarganya menangkap ikan dan biota lainya di sekitar gugusan
karang, kecuali terlebih dahulu harus melakukan ritual tertentu dengan
menyiapkan sajian bagi leluhur (Utina, 2012).
Sehingga dalam hal
kontrol regulasi di tingkat daerah melibatkan kerja sama dengan regulasi adat
yang berkesesuaian dengan peraturan daerah dalam pengelolaan wilayah pesisir
dan terumbu karang. Hal yang hampir sama dengan salah satu kebijakan dalam
rangka konservasi berupa pembentuka DPL dibeberapa daerah tertentu salah
satunya di Sulawesi Selatan terdapat daerah yang disebut sebagai Batu Pangalle yang berisi terumbu karang
dalam jumlah besar dan pada tempat tersebut terdapat larangan untuk menangkap
ikan (Djahuddin et al., 2009).
Kendala
yang dihadapi
Pada umumnya
PERDA yang dibentuk telah melingkupi keseluruhan aspek yang diperlukan dalam
rangka konservasi dan pengelolaan terumbu karang dan wilayah pesisir, namun
dalam penerapannya terdapat beberapa kendala dalam ranah pembagian daerah
berdasarkan zonasi dan pembentukan DPL. Beberapa DPL
terletak di dekat desa, sehingga lebih rentan terhadap gangguan eksternal,
misalnya sedimentasi dan polusi sehingga walaupun tidak dilakukan penangkapan
di daerah DPL namun pengaruh dari luar berupa polutan dari pemukiman warga
menyebabkan penurunan kualitas DPL (Kementrian Kelautan dan Perikanan b, 2011). Selain itu pengelolaan DPL dan Zonasi yang kurang tepat hal ini
terkhusus pada daerah kepulauan. Dimana penentuan daerah zonasi berupa zona
inti disekitar pulau akan menyulitkan masyarakat sekitar untuk mencari ikan,
seperti yang dapat dilihat pada peta (Gambar 3) pembagian zonasi daerah
Kecamatan Tupabbiring Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, dimana beberapa pulau
termasuk ke dalam zona inti (berwarna pink) yang menandakan pada zona terhadap
perlindungan mutlak sebagaimana tertuang dalam PERDA Kabupaten Pangkajene dan
Kepulauan Nomor 4 Tahun 2010. Hal ini akan membuat zona inti disekitar pulau
tersebut menjadi kurang optimal dalam penerapannya.
Selain
itu, di dalam tiap PERDA tentang pembentukan DPL dimana Setiap
Desa dapat membentuk DPL diatur dalam Peraturan Desa (salah satunya tertuang
dalam PERDA Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan Nomor 4 Tahun 2010) (Kementrian Kelautan dan Perikanan a, 2011). Pengaturan
pembentukan DPL berdasarkan Peraturan Desa menyebabkan seringkali terjadinya
kasus pelanggaran didaerah DPL disebabkan beberapa nelayan dari desa lain tidak
mengetahui batas-batas daerah DPL disebabkan kurangnya sosialisasi antar Desa.
Beberapa nelayan nakal juga lebih memilih untuk melakukan penangkapan di daerah
DPL desa lain. Adanya penangkapan ikan secara berlebihan di wilayah DPL berbeda
tiap kabupaten. Perbedaan antar kabupaten mungkin disebabkan oleh sejumlah
faktor budaya dan kebiasaan. Nelayan Sulawesi lebih terbiasa untuk menangkap
ikan di wilayah perairan terbuka; sedangkan nelayan Papua (dan pada tingkat
tertentu, nelayan NTT) memiliki sejarah kepemilikan wilayah laut. Hal ini
menjadi alasan mengapa lebih mudah menanamkan perilaku konservasi bagi nelayan
Papua dan NTT (Kementrian Kelautan dan
Perikanan b, 2011).
Berikut ini merupakan data tutupan karang di
daerah DPL dari tiap daerah asuhan COREMAP pada tahun 2008 hingga tahun 2011
menunjukkan beberapa daerah khususnya di daerah Sulawesi Selatan yakni Pangkep,
Selayar dan Wakatobi menunjukkan penurunan sekitar 10% adapun peningkatan pada
kabupaten Buton juga tidak sebesar di wilayah luar Sulawesi, salah satu alasan
utamanya kurang efektifnya penerapan wilayah DPL seperti yang telah dijelaskan
pada paragraf sebelumnya.
Selain
itu bersadarkan data dari Kementrian Perikanan dan Kelautan (2011b), kasus
penangkapan ikan secara merusak dan tindakan hukum terkait penangkapan ikan
secara ilegal yang telah ditangani oleh badan-badan penegak hukum pada periode
2005 sampai 2011 yang tertinggi terjadi di Pangkep sementara angka terendah
kasus tercatat di Biak (tidak terdapat kasus pelanggaran; tidak tercatat adanya
tindakan hukum yang dilakukan). Tidak tersedia data untuk Raja Ampat. Semua
(100%) kasus penangkapan ikan secara ilegal telah dikenai sanksi hukum di
Buton, Wakatobi, dan Sikka, 70% di Pangkep dan hanya 12% di Selayar (Kementrian Kelautan dan Perikanan b, 2011). Penerapan sanksi pada tiap daerah berbeda sehingga
menyebabkan tingkat pelanggaran di tiap daerah berbeda juga, pada daerah dengan
penerapan sanksi yang tinggi kasus pelanggaran yang terjadi juga rendah
sehingga DPL menjadi lebih efektif dalam rangka konservasi.
Selain kendala teknis terdapat kendala lain
dalam hal konservasi terumbu karang, dimana diketahui saat ini telah terjadi
perubahan iklim, perubahan iklim menyebabkan suhu permukaan air laut meningkat
beberapa derajat dalam beberapa tahun terakhir sehingga laju pemutihan karang
(kerusakan karang) meningkat (Westmacott et
al. 2000).
Adapun rekomendasi yang diberikan dalam
menghadapi kendala-kendala yang terjadi yaitu :
1. Peninjauan
ulang PERDA dan Peraturan Kepala Daerah utamanya meliputi penetapan wilayah
zonasi dan DPL. Peninjauan ulang yang diharapkan meliputi peninjauan kembali
lokasi apakah penempatannya sudah tepat, selain itu diharapkan adanya
alternative lain yang diberikan dalam usaha ekonomi bagi masyarakat nelayan yang
tinggal di daerah zona inti dan DPL agar memiliki mata pencaharian lain selain
bersumber dari penangkapan ikan.
2. Penegakan
sanksi yang tegas terhadap pelanggaran yang terjadi. Sehingga diperlukan
pengawasan yang ketat dan kontrol yang baik dalam pelaksanaannya, sehingga
diperlukan kesadaran yang lebih baik lagi bagi tiap stakeholder yang terlibat
dalam upaya konservasi ini.
3. Penggunaan
Kearifan lokal dalam rangka membantu meregulasi kefektifan perturan daerah
tentang konservasi wilayah pesisir dan terumbu karang, karena dibeberapa daerah
umumnya masyarakat sebagian besar lebih taat kepada kearifan lokal daerahnya
dibandingkan peraturan pemeintah disebabkan sosialisasi peraturan pemerintah
kadang kurang menyeluruh sehingga peran serta masyarakat adat (seperti halnya
tertuang dalam tiap PERDA) menjadi sangat penting dalam hal pelaksanaan dan
penegakan kearifan lokal.
Referensi
Kementrian
Kelautan dan Perikanan a. 2011. Kumpulan Peraturan Perundang-Undangan di Bidang
Pengelolaan Terumbu Karang (Volume II). COREMAP II. Jakarta.
Kementrian Kelautan dan Perikanan b. 2011. Laporan
Akhir Implementasi Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang Tahap
II. COREMAP II. Jakarta.
Darmawan, A., S.B. Lubis dan Suraji. 2014. Status
Pengelolaan Efektif Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
di Indonesia. KementrianKelautan dan Perikanan. Jakarta.
Utina, R. 2012. Kecerdasan Ekologis dalam Kearifan
Lokal Masyarakat Bajo Desa Torosiaje Provinsi Gorontalo. Prosiding Konferensi
dan Seminar Nasional Pusat Studi Lingkungan Hidup Indonesia ke 21 (13-15
September 2012). Mataram.
Westmacott, S., K. Teleki, S. Wells, dan J. West.
2000. Pengelolaan Terumbu Karang yang Telah Memutih dan Rusak Kritis. IUCN
Publication Service Unit. UK.
Djahuddin, N.F., R. Alfira, dan M. Anwar. 2009.
Eksistensi Batu Pangalle sebagai Kearifan Lokal Terhadap Pelestarian Terumbu
Karang di Pulau Balang Lompo Kabupaten Pangkep. Karya Tulis Ilmiah COREMAP II
(tidak diterbitkan).
BPK. 2012. Peraturan Daerah Provinsi
Kalimantan Selatan Nomor 19 Tahun 2012 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Terumbu Karang di Kalimantan Selatan. http://banjarmasin.bpk.go.id/
(accessed : 2 Desember 2016).
KEPRIPROV. 2010. Peraturan Derah Provinsi
Kabupaten Riau Nomor 3 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Terumbu Karang. www.kepriprov.go.id. (accessed : 2 Desember
2016).
KKJI, 2016. Data Kawasan Konservasi Provinsi
Kepulauan Riau Kabupaten Batam. http://kkji.kp3k.kkp.go.id/index.php/basisdata-kawasan-konservasi/details/1/71.
(accessed : 2 Desember 2016).