Pengantar :
Umumnya embriogenesis terjadi ketika sel gamet jantan dan betina bertemu
membentuk zigot uniselular, demikian pula halnya pada tanaman. Namun saat ini
embryogenesis pada tanaman juga dapat dibentuk tanpa melibatkan penyatuan kedua
sel gamet tersebut, proses ini salah satunya dikenal sebagai kultur haploid.
Istilah kultur haploid ini disebabkan embrio berkembang dari generasi sel
gametofit pada tanaman yang hanya membawa separuh dari jumlah kromosom fase
hidup sporofit tanaman. Kultur haploid
ini muncul seiring perkembangan ilmu biologi khususnya
bidang bioteknologi semakin hari semakin meningkat didorong oleh manfaatnya
yang luar biasa dalam perkembangan genetik, pemuliaan tanaman, studi fisiologi
tanaman dan embriologi.
Sejak tahun 1970 penelitian yang ekstensif tentang
kultur haploid dilakukan. Umumnya kultur haploid dapat dihasilkan dari
regenerasi gamet betina atau gamet jantan. Ada dua metode untuk produksi kultur
in vitro dari gamet jantan (androgenic
haploid) yaitu kultur anther dan kultur polen/mikrospora. Kultur anther
merupakan salah satu protocol yang mudah dalam produksi tanaman haploid,
spesies yang berbeda ataupun kultivar yang berbeda tidak memerlukan kondisi
atau protocol tertentu dengan menggunakan kultur anther ini. Akan tetapi dalam
kultur anther kerap ditemui masalah berupa kalus kontaminan pada dinding ather
bersama dengan polen selain itu tanaman dari antera seringkali merupakan
populasi heterogen serta pada beberapa spesies ditemukan bahwa asynchronous pollen berkembang dari
kultur anther. Kendala pada kultur anther ini menyebabkan berkembangnya kultur
mikrospora (Mishra & Goswami, 2014). Pada makalah ini akan dibahas tentang
kultur haploid utamanya kultur mikrospora mengenai beberapa penelitian terbaru
dalam meningkatkan embryogenesis dalam kultur mikrospora diantaranya melalui
penambahan reduced ascorbate dan reduced glutathione (Zeng, et al., 2017), histone deacetylase inhibitor (Zhang, et al., 2016) dan penerapan kultur shaking (culture shaking) (Yang, et
al., 2013)
Pembahasan :
A. Efek
penambahan reduced ascorbate (ASC) dan reduced gluthatione (GSH) dalam
meningkatkan embryogenesis kultur mikrospora (Zeng et al., 2017)
Kultur
mikrospora dan kultur anthera sama-sama dapat dilakukan hanya saja kultur
mikrospora lebih sering dilakukan oleh para ahli dikarenanakan kultur
mikrospora memiliki kelebihan dibanding kultur anthera. Walaupun unggul
dibandingkan kultur anther bukan berarti kultur mikrospora tidak memiliki
kendala. Salah satu kendala kultur mikrospora adalah kematian sel saat proses
kultur. Dalam penelitiannya Zeng et al., (2017)
melihat pengaruh dua antioksidan yaitu reduced
ascorbate (ASC) dan reduced
glutathione (GSH) dalam
meningkatkan embryogenesis pada kultur mikrospora tanaman brokoli (Brassica oleracea L. Var. Italica)
utamanya dalam mengatasi banyaknya kematian kultur sel selama produksi double
haploid homozygous line pada isolated
microspore culture (IMC). Salah satu masalah besar pada kultur mikrospora
brokoli adalah embrio yang dihasilkan masih sagat rendah. Alasan utamanya
adalah karena banyaknya mikrospora mati pada tahap awal induksi, dan sebagian
besar struktur sporophytic berhenti
berkembang setelah beberapa kali pembelahan dan kemudian mengalami kematian. Mikrospora
ini mati dengan cepat setelah mengalami stress sengatan panas yang
berdampak 80-90% sel mati setelah 3 hari
dalam kultur. Kekurangan ini terjadi sebagai akibat penyimpangan struktural dan
fisiologis yang dianggap berasal dari kondisi kultur yang kurang optimal.
Usaha peningkatan keberhasilan
kultur mikrospora brokoli dilakukan Zeng, et
al., (2017) dengan melihat kombinasi konsentrasi penambahan ASC dan GSH ke
dalam kutur mikrospora. Tiga hybrid kultivar brokoli digunakan dalam penelitian
ini diantaranya ‘B415’, ‘B429’ dan ‘B844’ dan berdasarkan eksperimen dilakukan
penambahan ASC atau GSH ke media kultur mikrospora pada konsentrasi spesifik
yaitu 1, 5, 10, 20, 50 atau 100 mg/l. Sebelum diinduksi dengan perlakuan ASC atau
GSH, sel diberi perlakuan stress panas pada 32,5 ° C selama 24 jam menunjukkan
jumlah kematian sel mencapai sekitar 80% setelah 2 hari. Penambahan 10 mg/l ASC
dan 20 mg/l GSH secara signifikan menurunkan kematian mikrospora dan memiliki
efek yang kuat terhadap jumlah embrio yang dihasilkan. Efek penambahan ASC atau
GSH pada induksi embryogenesis mikrospora dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Efek penambahan ASC dan GSH pada induksi
embryogenesis mikrospora brokoli (Zeng et
al., 2017)
Penambahan
ASC maupun GSH secara signifikan menurunkan angka kematian kultur mikrospora
'B415', 'B429' dan 'B844' sedangkan kontrol dengan tanpa perlakuan penambahan
ASC maupun GSH menunjukkan 80% kematian setelah 2 hari perlakuan stress panas.
Saat menambahkan 1mgl/1 ASC atau GSH ke dalam 1 /2NLN medium, mikrospora
menunjukkan 70% mortalitas yang jauh
lebih rendah pada ketiga jenis genotip/kultur. Peningkatan konsentrasi 5 hingga
10 mg/l menunjukkan hasil yang positif dalam menurunkan kematian sel. Penurunan
angka kematian mikrospora secara positif mempengaruhi jumlah mikrospora yang
viable dengan persentase tinggi untuk terjadinya pembelahan dan mencapai tahap
multiselular (embryogenesis).
Berdasarkan hasil penelitian genotipe 'B415', embrio yang
dihasilkan dari kultur mikrospora meningkat sekitar 1,2 kali lipat dan 2,5 kali
lipat setelah penambahan 10 mg/l ASC dan 20 mg/l GSH (Gambar 1), selain itu
penambahan ASC dan GSH juga berpengaruh positif terhadap tingkat regenerasi
tanaman yang masing-masing meningkat sebesar 4,2% dan 9,7%. Semakin tinggi
konsentrasi ASC maupun GSH yang ditambahkan menghasilkan tingkatan induksi
mikrospora yang lebih tinggi, terutama penambahan GSH pada 10 mg/l secara
signifikan meningkatkan embrio yang dihasilkan dari 0 sampai 4,9 pada genotip
'B844'
Gambar 1. Embriogenesis mikrospora genotip
‘B415’ terinduksi ASC dan GSH. a) vacuolated
microspore; b, microspore dengan dua nukleus yang sama besar; c, microspore
dengan dua nukleus yang tidak sama besar; d, struktur multinukleat (5 inti); e,
struktur multinukleat (8 inti); f, multinucleate
proembryo; g, struktur kalus dengan 4 sel; h, embryo-like structure. Bars = 5 μm (a–d), 15 μm (e), 50 μm (f–g),
100 μm (h)
(Sumber : Zeng et al., 2017)
Penambahan ASC maupun GSH mengakselerasi pertumbuhan kultur mikrospora
hal ini disebabkan karena keduanya merupakan antioksidan yang mempengaruhi
lingkungan melalui proses reduksi dan oksidasi. Lingkungan redoks (redox environment) yang merupakan
penentu krusial bagi pertumbuhan dan perkembangan sel kultur. Meski ada banyak
pasangan redoks yang bekerja secara sinergis, Status glutathione dan askorbat
redoks dianggap sebagai kunci pengaturan perkembangan embrio, yang terjadi
akibat keseimbangan antara masing-masing bentuk tereduksi (reduced askorbat
(ASC) dan glutathione (GSH)) dan bentuk teroksidasi (radikal bebas askorbat,
glutathione teroksidasi dan dehidroaskorbat).
Meskipun
penambahan ASC dan GSH pada meningkatkan embryogenesis pada kultur mikrospora
brokoli, namun penambahannya hingga dosis tertentu dapat menurunkan jumlah
embrio. Penambahan 50 mg/l GSH mengurangi jumlah embrio dari mikrospora
dibandingkan dengan kontrol, dan diperoleh lebih sedikit embrio yang dapat
bertahan setelah transfer. Struktur multiseluler masih dapat berkembang hingga
penambahan 100mg/l namun gagal membentuk struktur mirip embrio hal ini
menunjukkan bahwa penambahan GSH dalam konsentrasi tinggi memberikan efek
terhadap perkembangan embrio dari kultur mikrospora. Sehingga diketahui bahwa
penambahan ASC maupun GSH dalam konsentrasi tertentu dapat meningkatkan
embryogenesis pada kultur mikrospora namun konsentrasi dan keseimbangan dalam
penambahan keduanya harus diperhatikan (Zeng et al., 2017).
A. Efek
histone deacetylase inhibitors pada
embryogenesis mikrospora (Zhang, et al., 2016)
Embriogenesis
mikrospora dipengaruhi oleh banyak faktor seperti genotip tanaman donor dan
status pertumbuhan, kekuatan mikrospora, kondisi kultur, pretreatment, dan
media kultur. Perlakuan stres telah sering digunakan untuk menginduksi
embriogenesis, dan merupakan treatmen yang paling sering digunakan dalam
embryogenesis microspore yang efisien saat ini, salah satunya adalah penerapan
kejutan panas singkat, pretreatment dingin, dan starvasi karbon. Namun saat ini
penambahan zat kimia juga telah dilakukan untuk menginduksi embryogenesis pada
kultur mikrospora.
Zhang
et al., (2016) melakukan penelitian
untuk mengetahui efek histone deacetylase
inhibitors pada embryogenesis microspore pada tanaman Pakchoi (Brassicarapa
ssp. chinensis L.). Tanaman Pakchoi dikenal juga sebagai Chinese cabbage atau sawi putih. Tanaman yang
digunakan sebagai donor mikrospora adalah tanaman F2 dengan 3 genotip yang
berbeda yaitu 421, 424, dan 426 dengan perlakuan penambahan histone deacetylase inhibitors trichostatin
A (TSA), suberoylanilide hydrox-amic acid
(SAHA), dan sodium butyrate (NaB) ke
dalam medium NLN-13 untuk meningkatkan embriognesis mikrospora dan regenerasi
tanaman Pakchoi tanpa terbentuknya fase kalus intervensi (intervening callus) (Tabel 2). Ketiga
genotip Pakchoi ini memiliki
kapabilitas embryogenesis mikrospora yang berbeda, sehingga ketiganya digunakan
untuk menunjukkan respon terhadap penambahan histone deacetylase inhibitors,
dari hasil penelitian menunjukkan ketiganya memberikan respon yang positif terhadap
histone
deacetylase inhibitors. Aplikasi TSA secara signifikan meningkatkan
jumlah embrio kultur mikrospora, dan frekuensi embriogenesis meningkat sebesar
2,31 - 1,46 - dan 2,48 kali lipat, dibandingkan dengan kontrol masing-masing
pada tiga genotip. Konsentrasi optimum TSA untuk genotipe 424 adalah 0,05 μM
dalam medium NLN-13, yang menghasilkan hasil embrio terbesar dan frekuensi
regenerasi tanaman tertinggi. SAHA memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
peningkatan laju embrio dan juga dalam mengurangi laju pembentukan kalus. Embrio
yang diproduksi dalam medium NLN-13 yang disuplementasi dengan SAHA (0,05 µM
dan 0,10 µM), memiliki tingkat regenerasi tanaman tertinggi masing-masing
75,01% dan 87,30% dan konsentrasi optimum NaB dalam medium NLN-13 adalah 2 µM pada
tiga genotype untuk menghasilkan induksi embrio tertinggi.
Tabel 2. Efek TSA dan SAHA dalam menginduksi
pembentukan embrio dari mikrospora (Zhang et
al., 2016)
Berdasarkan peneitian Zhang et al., (2016) menunjukkan bahwa tingkat
embriogenesis mikrospora dan regenerasi tanaman dapat ditingkatkan dengan penambahan
histone
deacetylase inhibitors - TSA, SAHA, dan NaB - di medium NLN-13. Efek
TSA pada embryogenesis microspore dapat menyebabkan peningkatan besar dalam
proporsi sel yang beralih dari serbuk sari ke pertumbuhan embriogenik. Selain
itu terdapat efek yang berbeda pada genotip tanaman yang berbeda dengan jenis histone
deacetylase inhibitors yang berbeda pula, hal ini mengindikasikan
bahwa respon tiap individu berbeda tergantung dari jenis individu itu sendiri
atau jenis perlakuan yang diberikan. Namun secara umum dapat dilihat bahwa
penambahan histone
deacetylase inhibitors ke media NLN-13 dapat meningkatkan embriogenesis
mikrospora dan frekuensi regenerasi tanaman secara langsung, sehingga
penambahan histone
deacetylase inhibitors dapat digunakan secara rutin untuk kultur
mikrospora tanaman Pakchoi.
A. Efek
kultur shaking (culture shaking) pada
embryogenesis mikrospora (Yang, et al., 2013).
Embrio kultur
mikrospora dalam media cair untuk jangka waktu yang berlebih akan menyebabkan
penurunan kekuatan dan browning setelah dipindahkan ke media padat. Dalam
beberapa kasus, perlakuan agitasi dan penggantian medium meningkatkan frekuensi
embriogenesis dan kualitas embrio. Salah satu usaha peningkatan embryogenesis
kultur mikrospora dilakukan oleh mikrospora (Yang, et al., 2013), penelitian ini dilakukan pada tanaman Pakchoi (Brassica rapa ssp. chinensis L.) dengan perlakuan kultur shaking. Kultur shaking yang
dimaksud adalah pemberian kocokan atau agitasi pada medium kultur mikrospora.
Yang et al., (2013) menggunakan ‘Caiyuan’,
‘Jinpinxiaguan’, ‘Jinxiashi’, ‘Lijiang’ dan ‘Huaguan’ yang merupakan Pakchoi komersial
hybrid, serta ‘YS07’ and ‘YS08’ yang merupakan hasil persilangan DH
(double haploid) ‘Caiyuan', 'Huaguan' dan 'Lijiang'. Perlakuan kultur shaking
bervariasi frekuensinya (0, 40, 50, 80 dan 100 rpm). Efek kultur
shaking terhadap embryogenesis mikrospora dan perkembangan embrio B. rapa dapat dilihat pada tabel 3.
Embrio yang diperoleh setelah 2-3 minggu dari semua varietas yang diuji
dalam IMC (isolated microspore cultures)/
kultur mikrospora menunjukkan bahwa kocokan/shaking/getaran dapat meningkatkan
frekuensi embriogenesis pada semua varietas yang diuji. Peningkatan frekuensi
getaran/shaking (40-100 rpm) efektif dalam meningkatkan embriogenesis dalam
'Huaguan' (Tabel 4), Sedangkan laju pembentukan kotiledon embrio meningkat
dalam kondisi shaking pada frekuensi rendah (40 rpm, 50 rpm). Saat frekuensi getar
dinaikkan hingga 80 rpm atau 100 rpm, maka pembentukan embrio kotiledon akan
mengalami penurunan.
Tabel 3. Efek kultur
shaking terhadap embryogenesis mikrospora dan perkembangan embrio B. rapa (Yang, et al., 2013)
Tabel
4. Efek frekuensi getaran yang berbeda terhadap embryogenesis mikrospora dan
perkembangan embrio B. rapa
(Yang, et al., 2013)
Ketujuh genotipe uji menunjukkan hasil positif dengan perlakuan aerasi
melalui perlakuan getaran pada kultur shaking. Frekuensi getaran kultur ideal
adalah 40 rpm dan 50 rpm, yang mampu meningkatkan produksi embrio sebesar
11,6-69,37% dan meningkatkan laju kotiledon embrio sebesar 3,14-22,67%
dibandingkan embrio yang tidak diaerasi (tidak diperlakukan pada kultur
shaking). Selain itu berdasarkan penelitian Selain itu berdasarkan penelitian
Yang et al., (2013) menunjukkan bahwa
getaran dapat menginduksi morfogenesis
embrio, dan memperpendek waktu kultur antara 1-4 hari. Peningkatan
embryogenesis mikrospora pada kultur shaking disebabkan karena perlakuan aerasi
mungkin dapat menghilangkan inhibitor, yang terakumulasi di media. Beberapa mikrospora
pada kultur utamanya mikrospora yang tua seringkali mengakumulasi inhibitor
atau toksik di dalam medium yang menyebabkan mikrospora tersebut tidak dapat
berkembang menjadi embrio. Perlakuan aerasi melalui kultur shaking dapat
menghilangkan inhibitor atau toksik yang terakumulasi dalam media sehingga
terjadi peningkatan embryogenesis pada kultur mikrospora.
Kesimpulan :
Berdasarkan
pembahasan dapat disimpulkan bahwa beberapa perlakuan dapat dilakukan dalam
usaha peningkatan embryogenesis mikrospora. Beberapa perlakuan tersebut adalah penambahan reduced
ascorbate dan reduced glutathione,
histone deacetylase inhibitor dan
penerapan kultur shaking (culture shaking).
Penambahan perlakuan tersebut masing-masing dapat meningkatkan embryogenesis mikrospora namun
penambahannya hingga tingkatan tertentu juga dapat menghambat embryogenesis mikrospora sehingga haruslah
diperhatikan komposisi yang tepat tiap perlakuan tersebut untuk menunjukkan
peningkatan embryogenesis mikrospora
yang optimum.
DAFTAR PUSTAKA :
Mishra, V.K. and R.
Goswami. 2014. Haploid Production in Higer Plant. IJCBS Review Paper. 1(issue 1): 25-45.
Yang, S., X. Liu,
Y. Fu, X. Zhang, Y. Li, Z. Liu, and H. Feng. 2013. The Effect of Culture
Shaking on Microspore Embryogenesis and Embryonic Development in Packoi (Brassica rapa L. ssp. chinensis). Scientia
Hortculturae. 15(2013): 70-73.
Zeng, A., L. Song, Y. Cui, and J. Yan. 2017. Reduced
Ascorbate and Reduced Glutathione Improve Embryogenesis in Broccoli Microspore
Culture. South African Journal of Botany.
109(2017): 275-280.
Zhang, L., Y. Zhang, Y. Gao, X. Jiang, M. Zhang, H.
Wu, Z. Liu, and H. Feng. 2016. Effect of Histone Deacetylase Inhibitors on
Microspore Embryogenesis and Plant Regeneration in Pakchoi (Brassica rapa ssp. chinensis L.). Scientia
Hortculturae. 209(2016):61-66.