PENDAHULUAN
Rekayasa
genetika merupakan manipulasi materi genetik yang dilakukan untuk memperoleh
organisme unggul ataupun demi kepentingan manusia. Saat ini rekayasa genetika
telah berkembang sangat pesat hingga hampir semua aspek dalam kehidupan ini
direkayasa mulai dari makanan, minuman, hingga kapas yang digunakan juga
merupakan produk rekayasa genetika dan masih banyak lagi. Pada umumnya
penerapan aplikasi rekayasa genetika yang melibatkan organisme hewan dan
tumbuhan mengalami pengembangan yang sangat pesat karena penelitian tentang hal
tersebut terus menerus dilakukan tanpa adanya hambatan berupa isu moral dan
etika namun berbeda halnya jika yang menjadi objek penelitian rekayasa genetika
adalah manusia itu sendiri, hal ini akan menjadi lebih rumit karena akan bersinggungan
dengan berbagai aspek baik moral maupun etika. Walaupun demikian sikap skeptis
para peneliti, kemajuan teknologi, keinginan untuk mengatasi masalah
disekitarnya membuat rekayasa genetika dengan objek kajian manusia itu sendiri
menjadi berkembang beberapa waktu terakhir ini.
Saat
ini pengembangan rekayasa genetika manusia telah berada di fase dimana akan
diciptakannya manusia hasil rekayasa genetik. Dalam sebuah pemberitaan Nature yang ditulis oleh Reardon pada 28
September 2016 bahwa ‘seorang bayi
laki-laki telah lahir dengan menggunakan teknik kontroversial dengan
menggabungkan DNA dari tiga orang melalui teknik penggantian DNA mitokondria’
(Reardon, 2016a) dan pada 13 Oktober, peneliti dari Ukraina juga mengumumkan
adanya dua orang wanita yang saat ini telah mengandung fetus yang dibuat dengan
menggabungkan DNA dari tiga orang (Reardon, 2016b). Selain hal tersebut, sebelumnya
pada tahun 2015 sendiri telah banyak perdebatan utamanya dalam hal rekayasa
genetik untuk menciptakan bayi yang sempurna melalui teknologi editing gen yang
disebut CRISPR dan teknik ini mulai dikembangkan dengan menggunakan embrio
manusia sejak awal Februari 2016 oleh Francis Crick Institute UK (Regalado,
2015; Schultz, 2016). Walaupun telah banyak penelitian utamanya dalam
menciptakan manusia hasil rekayasa genetik namun hingga saat ini, hal ini masih
terus diperdebatkan di kalangan sainstis itu sendiri terkait masalah etik
sehingga di beberapa negara penerapan teknik yang serupa masih dilarang.
Pada
makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai peranan bioetik dalam
pengembangan rekayasa genetika manusia yang mengarah pada penciptaan manusia
hasil rekayasa genetika sehubungan dengan perdebatan mengenai isu moral dan
etika.
KAJIAN PUSTAKA
Gen merupakan
unit pembawa informasi, beberapa penyakit disebabkan oleh gen utamanya yang
meyangkut penyakit herediter (Simmon, 2008) salah satunya penyakit yang
disebabkan mutasi pada DNA mitokondria (mtDNA). Mutasi pada mtDNA menyebabkan
terjadinya abnormalitas utamanya menyangkut metabolisme, hal ini karena
sebagian besar protein yang terlibat dalam proses metabolisme dikode oleh gen
yang berasal dari mitokondria itu sendiri. Abnormalitas yang terjadi ini akan
mengarahkan pada malfungsi tubuh yang meningkatkan terjadinya resiko terjangkit
penyakit lainnya seperti diabetes, penyakit hati, melemahnya otot, dan beberapa
masalah system saraf. Karena berhubungan dengan DNA yang terletak pada
mitokonria sehingga proses pewarisannya secara maternal, karena yang
menyumbangkan mitokondria hanyalah sel telur. Walaupun demikian, seseorang
dengan resiko tersebut masih dapat memiliki anak yang normal karena terjadinya
segregasi selama proses oogenesis sehingga ada kemungkinan sel telur yang
dihasilkan memiliki mitokondria yang sehat sehingga bergantung lagi pada
tingkat resiko yang ada (Taylor & Turnbull, 2005; CRG, 2015).
Saat ini sebanyak 1 dari 10.000
orang mengidap penyakit mitokondria dan sebanyak 1 dari 200 diantaranya adalah carrier. Belum ada obat yang diketahui
dapat mengobati penyakit mitokondria, apabila seorang wanita diketahui
mengalami penyakit ini maka secara otomatis dia juga akan mewariskan hal
tersebut kepada anak-anaknya sehingga hanya ada dua cara yang dapat ditempuh
jika sang wanita tersebut ingin memiliki anak yaitu adopsi atau mencari sel
telur dari orang lain. Sangat sulit bagi wanita tersebut untuk mewariskan
material genetiknya tanpa harus mewariskan penyakit mitokondria ini (CRG,
2015). Berdasarkan fenomena inilah para peneliti mengembangkan suatu teknik
yang disebut transfer mtDNA atau dikenal juga dengan oocyte manipulation atau transfer sitoplasmik untuk mengatasi
masalah penyakit mitokondia. Inti dari teknik ini adalah mencegah transmisi
mtDNA mutan untuk diwariskan ke generasi selanjutnya dengan cara manipulasi
dengan memanfaatkan sitoplasma sel telur yang mengandung mtDNA yang sehat. Sehingga
untuk melahirkan bayi yang sehat dengan menggunakan teknik ini dibutuhkan 3
orang yang berbeda yaitu sel sperma dari sang Ayah, nukleus (inti sel telur)
dari Ibu dan sitoplasma sel telur dari pendonor, karena melibatkan tiga orang
sehingga bayi yang dihasilkan akan memiliki gen dari tiga orang atau dengan
kata lain ‘three-parent baby’ (Taylor
& Turnbull, 2005). Hal inilah yang dikembangkan oleh Zhang dan koleganya
yang saat ini telah berhasil melahirkan bayi laki-laki dengan menggunakan
teknik ini (Reardon, 2016a). Walapun telah berhasil melahirkan bayi dengan
teknik ini, namun teknik ini masih mengalami perdebatan pro dan kontra sehingga
dibeberapa negara teknik ini masih dilarang karena teknik ini dapat
dianalogikan dengan proses pendesainan bayi sebelum lahir yang mana
bersinggungan dengan harga diri manusia dan kaitannya dalam merubah ciptaan
sang pencipta walaupun dengan tujuan untuk memperoleh bayi yang sehat.
Gambar : Teknik transfer nukleus dalam mencegah
pewarisan mtDNA mutan (Taylor & Turnbull, 2005)
Jika
membahas tentang design bayi, terdapat teknologi yang serupa namun hingga saat
ini belum terdapat penerapan secara langsung dalam menciptakan bayi. Teknologi
tersebut disebut editing gen yang dikenal sebagai CRISPR. Dengan mengedit gen
maka hal tersebut dapat memungkinkan kita untuk memperbaiki gen yang mengalami
kerusakan pada embrio sehingga memperbaiki genetik generasi yang akan datang.
CRISPR ini telah meluas digunakan dalam hal terapi gen, namun hal ini menjadi
kontradiktif dan menimbulkan pertentangan ketika akan digunakan secara langsung
pada ‘germ line’ karena akan mengubah
seutuhnya manusia dan menyebabkan perubahan pada relung gen (Regalado, 2015;
Zhang & Wang, 2016).
Berdasarkan
dua kasus diatas diketahui bahwa rekayasa genetik pada manusia umunya telah
lama dilakukan, beberapa diterima dan beberapa ditolak, penolakan umumnya
terjadi jika menyangkut manipulasi pada germ
line karena hal ini akan mengubah individu secara utuh begitu pula denga
gen yang akan diwariskannya nanti. Menurut Samperio (2002), rekayasa genetika
manusia haruslah ditinjau dan dianalisis dampak hukum dan etika utamanya dalam
penelitian embrio yan mengarah pada penciptaan manusia atau pendesainan manusia
karena hal ini menyangkut harga diri dan hak asasi manusia. Manusia berbeda
dengan hewan dan tumbuhan sehingga penelitian yang berkaitan dengan manusia
haruslah dilihat dari sisi etika dan moral. Oleh karena itu, dalam hal kasus
yang masih diperdebatkan seperti dua kasus diatas perlu dilihat dari sisi
bioetik dimana fungsi dari bioetik itu sendiri adalah untuk memecahkan konflik
moral yang mana dalam bioetik ini nilai transdental manusia disoroti dalam
kaitannya dengan sang Pencipta.
Bioetik
ada setelah perang dunia kedua yang berfokus pada isu moral dalam lingkup dunia
kesehatan, namun saat ini telah mengalami pengembangan yang sangat luas
sehingga dikenal pula adanya neuroetik (etika dalam ilmu neurosains), etika
genetika (ethics of genetic) dan
masih banyak lagi (Rudnick, 2011). Bioetik pada dasarnya memiliki 4 prinsip
dasar yaitu : Beneficience, Non
maleficence, Autonomy, dan Justice
(Aksoy & Elmali, 2002). Beneficience
atau dikenal juga sebagai prinsip kebaikan yang berarti pengambilan tindakan untuk menguntungkan dan memajukan
kesejahteraan manusia. Non maleficence atau
tidak membahayakan. Justice atau
prinsip keadilan yaitu memperlakukan orang sama, tanpa prasangka, pemerataan
manfaat dan termasuk menjamin keadilan dalam penelitian utamanya dalam lingkup biomedis.
Autonomy (otonomi) adalah kebebasan dan
kemampuan untuk bertindak dengan cara yang ditentukan sendiri. Ini merupakan hak
orang yang rasional untuk mengungkapkan keputusan pribadi secara independen
tanpa gangguan dari luar dan meghormati keputusan tersebut. Dalam etika
kesehatan Barat, autonomy menempati tempat sentral (Rich,
2015). Jika menurut deklarasi universal UNESCO tetang bioetik dan hak asasi
manusia, terdapat lima belas prinsip bioetik yaitu 1) Harga diri manusia dan
hak asasi manusia, 2) Manfaat dan bahaya, 3) Responsibilitas terhadap otonomi
individu, 4) Izin atau persetujuan, 5) Seseorang tanpa kapasitas memberi persetujuan, 6) Peduli terhadap
kerentanan manusia dan integritas perseorangan, 7) Privasi dan Kerahasiaan, 8)
Persamaan dan keadilan, 9) Tidak diskriminatif dan tidak stigmanisasi, 10)
Peduli terhadap keberagaman dan pluralism, 11) Solidaritas dan kooperasi, 12)
Responsibilitas social dan kesehatan, 13) Berbagi manfaat, 14) Melindungi
generasi yang akan datang, dan 15) Melindungi lingkungan, biosfer, dan
biodiversitas (Brown, 2014).
ANALISIS
Berdasarkan prinsip bioetik yang
ada, dalam hal kebermanfaatan baik transfer mtDNA maupun editing gen dilakukan
untuk mengatasi penyakit herediter namun disatu sisi banyak hal yang harus
dipertimbangkan utamanya dalam hal non
maleficence, autonomy, dan justice serta harga
diri manusia dan hak asasi manusia itu sendiri. Pada kasus transfer mtDNA
beberapa isu yang muncul mengenai penggunaan teknologi yang masih cukup baru
dan belum diuji sehingga hal ini berkaitan dengan prinsip non maleficence, walaupun kedepannya nanti teknologi ini akan semakin
matang namum isu lain yang muncul adalah mengenai hak asasi dan otonomi bayi yang
akan dimodifikasi tersebut, seorang bayi yang belum lahir tentu saja tidak
dapat memilih apakah dia dengan senang hati mengikuti project tersebut yang
mana identitas bayi yang lahir secara sepihak akan diubah sehingga hal ini juga
tersangkut masalah perizinan walaupun dilain pihak mungkin kedua orang tuanya
telah menyetujui hal ini.
Satu hal yang perlu digaris bawahi adalah proses transfer mtDNA ini
walaupun dapat dikatakan mtDNA hanya terdiri dari beberapa persen dari total
genom secara keseluruhan namun tentu saja hal ini dapat membuat perubahan yang drastis
dalam genom dari diri anak itu dan dapat dikategorikan dalam pelanggaran
terhadap anak. Menurut CRG (2015), kemajuan teknologi ini ditakutkan bukan lagi
digunakan unuk tujuan medis akan tetapi mengarah ke rekayasa genetik manusia
pada aplikasi eugenetik dimana akan terjadi kecenderungan pemilihan sifat-sifat
tertentu seperti intelensi yang tinggi, warna mata dan lain-lain nya yang mana
hal ini tentu saja akan mempermainkan ciptaan Tuhan dalam hal ini ‘playing God’. Selain itu karena dalam
proses transfer mtDNA melibatkan DNA 3 orang utamanya akan membingungkan
hubungan si bayi dengan si pendonor sitoplasma sel telur atau dengan kata lain
akan memberikan dampak sosial kepada si bayi tersebut.
Pada teknologi editing gen terdapat juga beberapa isu yang masih
bertentangan dengan bioetik. Schultz (2016) berpendapat bahwa teknologi editing
gen ini belum cukup aman, dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk dapat
menggunakan teknologi ini pada tingkatan ‘germ
line’, selain itu dalam mengatasi penyakit herditer editing gen bukanlah
satu-satunya cara yang bisa dilakukan, ada banyak cara lainnya salah satunya
deteksi awal penyakit melalui screening embrio dalam mencegah pewarisan
penyakit ini, metode ini merupakan salah satu metode standart yang digunakan
dalam proses fertilisasi in vitro.
Jika dibandingkan dengan transfer mtDNA, editing gen lebih ditakuti
penerapannya utamanya adanya kemungkinan penggunaan editing gen untuk
menciptakan intelegensi buatan. Seorang Filsuf Oxford pada tahun 2014
mengangkat tentang kecedasan buatan dimana kedepannya adanya resiko penggunaan
teknologi reproduksi dalam meningkatkan kecerdasan (Regalado, 2015).
Hal semacam ini sering menimbulkan dilema etik karena disatu sisi
pengembangannya dilakukan untuk kesejahteraan manusia namun di sisi lain juga
berbenturan dengan hak asasi objek yang dijadikan penelitian. Menurut Rich
(2015) dalam dilema etik seseorang harus dapat memilih apakah sesuatu itu benar
secara etika atau merupakan kebenaran itu sendiri atau seuatu yang benar dengan
sesuatu yang tepat. Oleh karena itu diperlukan pemikiran yang kritis dalam
menentukan keputusan yang akan diambil. Contohnya pada penggunaan teknologi
transfer gen mtDNA adalah sesuatu yang benar dilakukan dalam mengatasi penyakit
yang disebabkan mutasi mitokondria namun apakah penggunaan teknologi tersebut
telah tepat untuk digunakan masih menyimpan tanda tanya.
Dalam menyikapi dilema etik dan isu-isu moral dan etika, peran bioetik
menjadi sangat penting utamanya dalam teknologi rekayasa manusia yang
berhubungan dengan ‘germ line’.
Bioetik akan berperan dalam membatasi hal-hal yang bisa hal-hal apasaja yang
boleh dilakukan dalam hal ini kaitannya dengan menjaga hak asasi individu
tersebut sebagai seorang manusia. Agar seuatu hal tetap pada koridornya tentu
saja diperlukan suatu regulasi dan bioetik disini berperan dalam meregulasi hal
tersebut. Karena bioetik menyangkut masalah penerapan etika dalam ilmu biologis
atau medis, yang mana diketahui bahwa tiap wilayah memiliki kultur yang berbeda
sehingga etika ditiap tempat menjadi berbeda pula, oleh karena itu penerapan
rekayasa genetik contohnya transfer mtDNA diperbolehkan di UK namun tidak di
Mexico dan beberapa negara lainnya.
Untuk kedepannya kedua teknologi ini baik editing gen maupun transfer
mtDNA masih harus melalui pengkajian mendalam dan pembahasan mengenai isu-isu
moral dan etika yang muncul sehingga masih perlu waktu yang sangat lama hingga
teknologi ini benar-benar dapat diterima dimasyarakat. Sebagai makhluk beragama
tentu saja kita mengetahui bahwa segala sesuatunya diciptakan dengan sempurna
oleh sang Pencipta karena itu kemajuan teknologi juga harus diregulasi dengan
benar agar tidak melanggar batas-batas yang dapat kita lakukan sebagai manusia.
PENUTUP
Penerapan
bioetik sangat penting utamanya dalam teknologi rekayasa genetika dalam hal ini
teknologi transfer gen mtDNA dan editing gn. Dimana bioetik memegang peranan
dalam meregulasi hal-hal terkait isu moral dan etik sehingga pengembangan
teknologi rekayasa genetika ini tidak bertentangan dengan nilai-nilai moral dan
etika yang ada dimasyarakat dan menjaga agar manusia tetap pada koridornya dan
tidak melampaui batas.
DAFTAR PUSTAKA
Aksoy, S. and A.
Elmali. 2002. The Core Concept of The Four Principle of Bioethics as Found in
Islamic Tradition. Med Law.
21:211-224.
Brown, G.R. 2014.
What is Bioethics. Law and Ethics in Bio-Medical
Engineering. Pollitechnika Lodzka. http://mstrzel.eletel.p.lodz.pl/. Accessed : 12/13/2016
CRG. 2015. Human
Genetic Engineering Current Science and Ethical Implications. Council for Responsible Genetic. 1-19.
Reardon, S. 2016a.
Three-parent baby claim raises hopes and ethical concerns. Nature news. (28 September 2016). http://www.nature.com
Reardon, S. 2016b.
Reports of three parents babies multiply. Nature
news. (19 October 2016). http://www.nature.com
Regalado, A. 2015.
Engineering the Perfect Baby. Biomedicine.
(5 March 2015). https://www.technologyreview.com.
Rich, K.L. 2015.
Introduction to Bioethics and Ethical Decision Making. http://samples.jbpub.com/9781284059502/Chapter_2_Sample.pdf. Accessed : 12/13/2016. Pp: 33-69.
Rudnick, A. 2011.
Bioethics in the 21st Century. Intech.
Croatika.
Samperio, G. 2002.
Bioethics in Genetic Engineering. Gac Med
Mex. 138(1): 109-119.
Schultz, N.L. 2016.
We are this close to Designer Babies. Mother Jones. (8 February 2016). http://www.motherjones.com/
Simmon, D. 2008. Genetic
Inequality : Human Genetic Engineering. Nature
education. 1(1):173.
Taylor, R.W. and
D.M. Turnbull. 2005. Mitochondrial DNA Mutations in Human Disease. Nat Rev Genet. 6(5) : 389-402.
Zhang, X. and S. Wang. 2016. From the First Human
Gene-editing of Three-Parent Baby. Life
Science. 59(12): 1341-1342.